بسم الله الرحمن الرحيم
Memahami fiqh haji dalam waktu kurang lebih 1 menit dalam 6 poin berikut:
Tanggal 8 Dzulhijjah: Melakukan ihram, pergi ke Mina sebelum zhuhur.
Sholat zhuhur, ashar, maghrib, isya’ dan shubuh di Mina (dengan
mangqoshor sholat 4 raka’at menjadi dua raka’at tanpa dijama’), mabit
(bermalam) di Mina.
Tanggal 9 Dzulhijjah: Setelah terbit matahari pergi ke Arafah,
sholat zhuhur dan ashar, dijama’ taqdim dan diqoshor dengan satu adzan
dan dua iqomah. Berdiam di Arafah sambil berdzikir dan doa sampai
terbenam matahari. Jika telah terbenam matahari, pergi ke Muzdalifah
untuk bermalam di sana. Lakukan sholat maghrib dan isya’ dijama’ dan
diqoshor, lalu bermalam di Muzdalifah dan sholat shubuh di sana.
Tanggal 10 Dzulhijjah: Pergi ke Mina sebelum terbit matahari,
melempar jamroh ‘aqobah, menyembelih hadyu, memendekkan atau mencukur
rambut, thawaf ifadhah dan sa’yu, mabit di Mina.
Tanggal 11 Dzulhijjah: Jika matahari telah tergelincir, melempar
tiga jamrah, dimulai dari jamroh sughro (yang terletak di samping masjid
Al-Khaif), lalu jamroh wustho, lalu jamroh kubro (yang dikenal dengan
jamroh ‘aqobah). Kembali mabit di Mina.
Tanggal 12 Dzulhijjah: Melakukan amalan yang sama dengan tanggal 11
Dzulhijjah. Kembali mabit di Mina, kecuali bagi yang telah berniat untuk
bersegera mengakhiri amalan hajinya (mengambil nafar awwal), hendaklah
melakukan thawaf wada’.
Dengan melaksanakan 6 poin ini selesai sudah seluruh rangkaian ibadah haji. Adapun rinciannya sebagai berikut :
Syarat-syarat Haji
Beragama Islam
Berakal sehat
Berusia baligh
Merdeka (bukan budak)
Memiliki kemampuan, yang mencakup:
Kemampuan harta, yaitu memiliki ongkos dan bekal perjalanan setelah
memenuhi kewajiban nafkah, membayar hutang dan lain-lain.
Kesehatan badan
Jalan yang aman untuk sampai ke baitullah
Mampu untuk melakukan perjalanan
Bagi wanita wajib disertai mahram atau suami
Dan tidak sedang dalam kondisi ‘iddah
Waktu Melakukan Haji
Waktu melakukan haji atau bulan-bulan haji yang disyari’atkan untuk
seorang masuk ke dalam amalan-amalan haji, dimulai sejak awal bulan
Syawwal sampai dengan sebelum terbit fajar pada malam tanggal 9
Dzulhijjah.
Jika seorang baru mulai melakukan haji pada tanggal 9 Dzulhijjah,
luput darinya amalan-amalan sunnah haji pada tanggal 8 Dzulhijjah.
Jika dia mulai pada malam tanggal 9 Dzulhijjah, luput darinya
amalan-amalan sunnah haji pada siang hari tanggal 9 Dzulhijjah, bahkan
terancam hajinya tidak sah jika tidak sempat wuquf di Arafah sebelum
terbit fajar.
Macam-macam Haji:
Haji tamattu’ (inilah haji yang paling afdhal), yaitu seorang masuk
pada amalan-amalan haji pada bulan-bulan haji, yang dimulai dengan
amalan umroh terlebih dahulu dengan mengucapkan di miqot, “Allahumma
labbaika ‘umrotan mutamatti’an biha ilal hajj”. Setelah sampai di
Mekkah, lalu melaksanakan umroh dengan cara yang sama seperti tata cara
umroh yang kami jelaskan sebelumnya. Setelah melakukan umroh, halal
baginya segala sesuatu yang tadinya diharamkan ketika ihram, sampai
tanggal 8 Dzulhijjah baru kemudian berihram kembali untuk menyempurnakan
amalan-amalan haji yang tersisa.
Haji qiron, yaitu seorang berniat haji dan umroh secara bersama-sama
pada bulan-bulan haji, dengan mengucapkan di miqot, “Labbaika hajjan wa
‘umrotan”. Setelah sampai di Mekkah, lalu melakukan thawaf qudum dan
sa’yu (untuk sa’yu boleh ditunda sampai setelah melakukan thawaf ifadhah
pada tanggal 10 Dzulhijjah). Setelah sa’yu tidak halal baginya
melakukan hal-hal yang diharamkan ketika ihram, jadi dia tetap dalam
keadaan ihram sampai tanggal 10 Dzulhijjah setelah melakukan
amalan-amalan yang akan kami jelaskan insya Allah.
Haji ifrod, yaitu seorang berniat melakukan haji saja tanpa umroh
pada bulan-bulan haji, dengan mengucapkan di miqot, “Labbaika hajjan”.
Sama dengan haji qiron; setelah sampai di Mekkah, lalu melakukan thawaf
qudum dan sa’yu (untuk sa’yu boleh ditunda sampai setelah melakukan
thawaf ifadhah pada tanggal 10 Dzulhijjah). Setelah sa’yu tidak halal
baginya melakukan hal-hal yang diharamkan ketika ihram, jadi dia tetap
dalam keadaan ihram sampai tanggal 10 Dzulhijjah setelah melakukan
amalan-amalan yang akan kami jelaskan insya Allah.
Perbedaan Mendasar Antara Haji Ifrod, Tamattu’ dan Qiron
Perbedaan pada niat.
Tidak ada kewajiban menyembelih hewan hadyu bagi yang melaksanakan
haji ifrod. Adapun bagi yang melakukan haji tamattu’ dan qiron selain
penduduk Mekkah, wajib bagi mereka hadyu.
Pada haji tamattu’, boleh melakukan tahallul setelah melakukan
umroh, sehingga halal bagi yang melakukan haji tamattu’ semua yang
diharamkan ketika ihram sampai masuk tanggal 8 Dzulhijjah.
Pada haji tamattu’ terdapat dua kali sa’yu, yang pertama ketika
umroh dan yang kedua setelah melakukan thawaf ifadhah pada tanggal 10
Dzulhijjah. Sedangkan dalam haji qiron dan ifrod hanya terdapat satu
sa’yu, boleh dilakukan setelah thawaf qudum atau setelah thawaf ifadhah
pada tanggal 10 Dzulhijjah.
Adapun persamaan ketiga bentuk haji ini diantaranya, terdapat 3 macam
thawaf, yaitu thawaf qudum (dilakukan ketika pertama kali sampai ke
Mekkah), thawaf ifadhah (dilakukan pada tanggal 10 Dzulhijjah) dan
thawaf wada’ (dilakukan sebelum meninggalkan Mekkah).
Urutan Amalan-amalan Haji Sesuai Tanggal
Tanggal 8 Dzulhijjah:
1. Pada waktu dhuha, melakukan ihram dari miqot atau dari tempat
tinggal masing-masing (bagi yang haji tamattu’ yang tinggal di Makkah
dan Mina, baik yang muqim maupun musafir, dengan mengucapkan, “Labbaika
hajjan”, sedang bagi yang haji qiron dan ifrod maka tetap dalam keadaan
ihrom sebelumnya).
Wanita haid juga berihram namun tidak melakukan sholat dan thawaf.
Disunnahkan untuk melakukan amalan-amalan sunnah ihrom sebagaimana ihram untuk umroh.
2. Pergi ke Mina sebelum masuk waktu zhuhur dan melakukan sholat
zhuhur, ashar, maghrib dan isya di Mina, dengan mengqoshor sholat yang
empat raka’at menjadi dua raka’at namun tanpa dijama’.
3. Mabit (bermalam) di Mina dan melakukan sholat shubuh juga di Mina.
4. Memperbanyak ucapan talbiyah (terus diucapkan sampai sebelum melempar jamrah ‘aqobah):
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ،
إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
Artinya: “Kusambut panggilan-Mu Ya Allah, kusambut panggilan-Mu tiada
sekutu bagi-Mu, kusambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian,
nikmat dan kerajaan hanyalah milik-Mu tiada sekutu bagi-Mu.”
Disunnahkan mengeraskan bacaan talbiyah ini di perjalanan ke Mina. Namun
tidak disyari’atkan membacanya secara berjama’ah dengan membentuk
sebuah koor.
Tanggal 9 Dzulhijjah:
1. Setelah terbit matahari di hari Arafah, pergi ke Arafah sambil membaca tahlil atau takbir
Sebelum sampai ke Arafah disunnahkan untuk singgah di Namiroh, satu
tempat di dekat Arafah, dan tetap di situ sampai sebelum matahari
tergelincir.
Jika matahari telah tergelincir disunnahkan lagi untuk pergi ke
‘Urnah, tempatnya lebih dekat ke Arafah dibanding Namiroh, di sinilah
disunnahkan bagi seorang pemimpin atau wakilnya menyampaikan khutbah
yang sesuai dengan keadaan hari itu.
Melakukan sholat zhuhur dan ashar, dijama’ taqdim dan diqoshor
dengan satu adzan dan dua iqomah. Dan tidak ada sholat sunnah antara
dzuhur dan ashar.
Setelah itu masuk ke Arafah -jika memang belum sampai di Arafah-
sampai melewati tanda-tanda Arafah yang telah dibuat oleh pemerintah.
Jika memungkinkan hendaklah menghadap kiblat sekaligus menghadap Jabal
Rahmah, jika tidak maka tidak apa-apa di seluruh tempat di Arafah dengan
menghadap kiblat saja.
Tidak disyari’atkan untuk mendaki dan melaksanakan sholat di Jabal
Rahmah berdasarkan ijma’, jika seorang menganggap itu termasuk bagian
dari ibadah maka itu termasuk bid’ah.
Tidak boleh mengikuti dan menaati para petugas haji yang
memerintahkan jama’ah haji untuk keluar dari Arafah dan berangkat ke
Muzdalifah sebelum terbenam matahari, karena tidak ada ketaatan dalam
maksiat kepada Allah Ta’ala.
PERINGATAN: Hendaklah jama’ah haji memastikan dia telah berada di
area Arafah, sebab keberadaan jama’ah haji di Arafah pada hari ini
termasuk rukun haji, jika tidak dilaksanakan maka tidak sah hajinya.
Kalau dia ragu hendaklah bertanya kepada ulama untuk memastikan.
2. Selama di Arafah hendaklah memperbanyak dzikir dan doa,
disunnahkan memperbanyak ucapan talbiyah dan tahlil. Hal ini terus
dilakukan sampai terbenam matahari. Dan tidak disunnahkan bagi jama’ah
haji untuk berpuasa sehingga mereka lebih terfokus untuk doa dan dzikir.
3. Jika telah terbenam matahari, pergi ke Muzdalifah dengan penuh
ketenangan dan menyibukkan diri dengan talbiyah dan istighfar. Jika
seorang pergi ke Muzdalifah sebelum terbenam matahari dan dia tidak
kembali ke Arafah sebelum terbenam matahari maka wajib baginya fidyah
berupa sembelihan, dilakukan di Mekkah dan dibagikan bagi fakir miskin
Mekkah, dan tidak memakan darinya sedikitpun.
Jika seorang berhalangan untuk sampai ke Arafah sebelum terbenam
matahari maka tidak mengapa baginya untuk pergi ke Arafah pada malamnya
–selama belum terbit fajar- meskipun hanya sekedar lewat di Arafah, lalu
ke Muzdalifah.
4. Sampai di Muzdalifah pada waktu maghrib maupun isya’, segera
melakukan sholat maghrib dan isya’ dijama’ dan diqoshor dengan satu
adzan dan dua iqomah. Tidak ada sholat sunnah antara maghrib dan isya’.
Jika khawatir tidak akan sampai ke Muzdalifah kecuali setelah tengah
malam maka hendaklah sholat di perjalanan, karena tidak boleh menunda
sholat sampai melewati tengah malam.
5. Wajib mabit di Muzdalifah pada malam ini, disunnahkan setelah
sholat maghrib dan isya’ untuk langsung tidur pada malam ini dan tidak
menyibukkan diri dengan khutbah maupun mengumpulkan batu untuk melempar
jamrah, dan tidak harus menyiapkan batu untuk melempar Jamrah dari
Muzdalifah.
6. Sholat shubuh di Muzdalifah. Setelah sholat shubuh, pergi ke
al-masy’arul haram yaitu bukit yang ada di Muzdalifah, jika memungkinkan
untuk menaikinya, menghadap kiblat, membaca tahmid, takbir, tahlil dan
berdoa. Disunnahkan untuk mengangkat tangan ketika berdoa. Hal ini
dilakukan sampai menjelang terbit matahari, kemudian pergi ke Mina
sebelum matahari terbit.
Barangsiapa tidak bermalam di Muzdalifah atau meninggalkan
Muzdalifah sebelum tengah malam dengan sengaja maka dia berdosa dan
wajib atasnya fidyah; menyembelih seekor kambing, dibagikan kepada fakir
miskin tanah Haram dan tidak makan darinya sedikitpun. Kecuali bagi
orang yang terhalang untuk sampai ke Muzdalifah, jika dia sampai ke
Muzdalifah setelah tengah malam atau mendekati shubuh lalu melakukan
sholat shubuh di Muzdalifah maka tidak ada fidyah atasnya.
Jika petugas haji memaksa jama’ah untuk meninggalkan Muzdalifah
sebelum tengah malam maka tidak wajib fidyah atas mereka karena
terpaksa.
Jika seorang tidak bisa memasuki Muzdalifah karena terhalang juga tidak ada kewajiban fidyah atasnya.
Jika seorang mabit tanpa memastikan bahwa dia telah berada di
Muzdalifah lalu menjadi jelas baginya setelah terbit fajar maka wajib
atasnya fidyah
Dibolehkan bagi wanita, orang-orang yang lemah seperti orang tua dan
anak-anak, juga para pengurus mereka, baik supir, mahram dan pengurus
lainnya, untuk meninggalkan Muzdalifah setelah tengah malam dan langsung
menuju jamrah ‘aqobah untuk melempar meskipun sebelum terbit fajar.
Juga dibolehkan bagi mereka langsung ke Mekkah untuk melakukan thawaf
ifadhah dan sa’yu, kemudian kembali ke Mina.
Tanggal 10 Dzulhijjah:
1. Pergi ke Mina sebelum terbit matahari dengan tenang dan sambil mengucapkan talbiyah
Disunnahkan jika telah sampai di Muhassir (satu tempat yang termasuk
Mina) untuk mempercepat langkah semampunya, lalu mengambil jalan tengah
yang menyampaikan ke jamroh ‘aqobah.
Boleh mengambil 7 buah batu kecil (untuk melempar jamrah ‘aqobah) di
Muzdalifah atau di perjalanan ke Mina, baik mengambilnya sendiri atau
diambilkan oleh orang lain.
Tidak disyari’atkan untuk mencuci batu-batu tersebut.
2. Setelah tiba di Mina, berhenti mengucapkan talbiyah di jamroh
‘aqobah dan hendaklah segera melempar jamroh ‘aqobah dengan 7 buah batu
secara berturut-turut dan memastikan (atau dengan persangkaan yang kuat)
batu tersebut masuk di area (lubang atau lingkaran) lemparan, dan tidak
mengapa jika batu tersebut keluar lagi dari area.
Jika tidak masuk ke area lemparan harus mengulanginya.
Tidak boleh melempar 2 buah batu atau lebih secara sekaligus.
Mengangkat tangan pada setiap lemparan sambil bertakbir
Tidak boleh melempar dengan selain batu kecil, seperti sandal, batu besar dan lain-lain.
Tidak melempar dengan batu yang sudah digunakan sebelumnya.
Tidak ada dzikir atau ucapan khusus ketika melempar dan tidak juga
harus meyakini bahwa di situ ada setan yang sedang dilempar, maskipun
asal disyari’atkannya melempar ini adalah perbuatan Nabi Ibrahim
‘alaihissalam ketika melempar setan.
Tidak disyari’atkan untuk berdiri sejenak dan berdzikir setelah melempar jamroh ‘aqobah ini.
Bagi yang tidak mampu melempar boleh mewakilkannya kepada orang lain
dengan syarat orang yang diwakilkan tersebut juga sedang melakukan
haji.
Orang yang mewakili orang lain untuk melempar hendaklah melempar untuk dirinya dulu baru kemudian untuk orang lain.
Bagi yang mampu melempar sendiri namun berhalangan maka tidak boleh
mewakilkannya, akan tetapi boleh baginya menunda semua lemparan sampai
tanggal 12 Dzulhijjah (bagi yang mengambil nafar awal) dan sampai
sebelum terbit matahari pada tanggal 13 Dzulhijjah (bagi yang mengambil
nafar tsani), dan hendaklah dia melempar semua jamroh secara berurutan.
Bagi yang mewakili kedua orang tuanya hendaklah dia mulai untuk dirinya, lalu ibunya terlebih dahulu, kemudian bapaknya.
Setelah melempar, sudah bisa masuk pada tahallul awal menurut
sebagian ulama namun pendapat yang lebih lebih hati-hati untuk
mengakhirkan tahallul awal sampai setelah memendekkan rambut atau
mencukurnya, atau setelah thawaf ifadhah dan sa’yu (bagi yang belum
sa’yu setelah thawaf qudum, yakni yang melakukan haji qiron dan ifrod).
o Tahallul awwal artinya telah halal melakukan hal-hal yang tadinya
diharamkan seperti mengenakan pakaian yang membentuk tubuh, minyak wangi
dan lain-lain kecuali bercumbu dan melakukan hubungan suami istri,
tidak boleh dilakukan kecuali setelah tahallul tsani, yaitu setelah
melakukan thawaf ifadhah dan sa’yu.
Jamroh ‘aqobah adalah jamroh kubro, yang letaknya paling dekat dengan Makkah dibanding jamroh sughro dan wustho.
Waktu melempar jamroh ‘aqobah sampai sebelum terbenam matahari pada hari ini bagi yang tidak berhalangan.
3. Setelah melempar jamroh ‘aqobah, lalu menyembelih hadyu (bagi yang melakukan haji tamattu’ dan qiron) di Mina.
Hewan hadyu dan fidyah syaratnya sama dengan hewan qurban dari segi
umur dan tidak cacat. Untuk satu orang 1 ekor kambing atau 1/7 sapi atau
1/7 unta.
Boleh menyembelih di tempat mana saja sepanjang masih berada dalam batas-batas tanah Haram di Mina dan Makkah.
Disunnahkan untuk menyembelih sendiri jika memungkinkan, jika tidak boleh mewakilkan.
Barangsiapa yang tidak mendapatkan hewam hadyu maka wajib baginya
berpuasa 3 hari ketika masa haji ini dan 7 hari ketika sudah kembali ke
negerinya.
Puasa ini boleh dikerjakan sebelum tanggal 10 Dzulhijjah maupun pada
hari-hari tasyriq (tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah). Kecuali hari Arafah,
lebih afdhal untuk berbuka agar bisa lebih banyak berdoa dan berdzikir
pada hari itu.
Puasa ini juga boleh dilakukan secara berurutan maupun tidak berurutan.
Berpuasa lebih afdhal daripada meminta-minta hewan hadyu kepada orang lain.
Disunnahkan untuk makan sebagian hewan sembelihan ini, menghadiahkannya dan bersedekah dengannya.
Boleh pula berbekal untuk perjalanan pulang dengan sebagian dari sembelihan hadyu ini.
Waktu menyembelih sampai sebelum terbenam matahari pada tanggal 13 Dzulhijjah.
4. Setelah menyembelih hewan hadyu, lalu memendekkan atau mencukur rambut.
Mencukur lebih afdhal, karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
mendoakan 3 kali bagi yang mencukur dan 1 kali bagi yang memendekkan.
Tidak cukup memendekkan atau mencukur sebagian, namun harus seluruh rambut.
Bagi wanita hanya memotong pada ujung-ujung rambutnya sepanjang kuku.
Bagi yang ingin berkurban tidak mengapa baginya untuk memendekkan
dan mencukur rambut. Berbeda dengan orang yang tidak berhaji, tidak
boleh memotong rambutnya sebelum menyembelih kurbannya.
5. Setelah memotong atau memendekkan rambut, lalu melakukan thawaf
ifadhah dan sa’yu. Ini termasuk rukun, tidak sah haji tanpanya.
Setelah melakukan tahallul awwal, disunnahkan untuk mengenakan minyak wangi sebelum pergi melakukan thawaf ifadhah.
Boleh menggunakan pakaian ihram dan pakaian biasa jika telah
melempar jamroh ‘aqobah dan memendekkan atau mencukur rambut, yakni
telah masuk pada tahallul awwal.
Kemudian melakukan thawaf ifadhah di kakbah sebanyak 7 kali dengan
cara yang sama seperti penjelasan pada thawaf umroh, kecuali idhthiba’
dan berlari-lari kecil pada tiga putaran yang pertama tidak dilakukan
lagi.
Setelah thawaf, disunnahkan untuk sholat 2 raka’at di belakang maqom Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Setelah sholat dua raka’at, lalu melakukan sa’yu antara Shafa dan
Marwa sebanyak 7 kali bagi yang melakukan haji tamattu’ dan bagi yang
belum melakukan haji qiron dan ifrod yang belum melakukan sa’yu setelah
thawaf qudum. Dan sa’yu dalam haji dan umroh termasuk rukun.
Tidak mengapa jika ada selang waktu yang panjang antara thawaf dan
sa’yu, bahkan boleh menunda sa’yu pada hari setelahnya, namun yang
afdhal dilakukan secara berurutan.
Tahallul tsani telah masuk dengan selesainya thawaf ifadhah dan
sa’yu, maka telah halal semua yang tadinya diharamkan bagi muhrim (orang
yang berihram), termasuk berhubungan suami istri.
Disunnahkan untuk minum zam-zam.
Tidak mengapa mengakhirkan thawaf ifadhah dan dilakukan bersama
dengan thawaf wada’, yakni meniatkan thawaf ifadhah dan wada’ bersamaan
dengan satu thawaf saja. Boleh juga meniatkan thawaf ifadhah saja, dan
itu sudah mencakup thawaf wada’. Namun tidak terhitung thawaf ifadhah
jika hanya meniatkan thawaf wada’.
Wanita yang haid sebelum thawaf ifadhah hendaklah dia dan mahramnya
menunggu sampai suci lalu melakukan thawaf ifadhah. Namun jika terpaksa
harus kembali ke negerinya maka setelah suci dia harus kembali lagi ke
Mekkah untuk melakukan thawaf ifadhah.
Waktu thawaf ifadhah dimulai setelah tengah malam tanggal 10
Dzulhijjah dan akhirnya tidak ada batas, namun afdhalnya tidak
diakhirkan sampai keluar dari hari-hari tasyriq (tanggal 11, 12, 13
Dzulhijjah).
Disunnahkan sholat zhuhur di Mekkah atau di Mina.
Disunnahkan bagi imam untuk berkhutbah di Mina di sekitar jamrah
ketika waktu dhuha telah meninggi untuk mengajarkan manasik haji yang
tersisa.
Tidak ada shalat idul adha bagi jama’ah haji.
Sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas, pada hari ini ada
empat amalan yang disyari’atkan yaitu: melempar jamroh ‘aqobah,
menyembelih hadyu, memendekkan atau mencukur rambut, melakukan thawaf
ifadhah dan ditambah sa’yu (sehingga menjadi lima, bagi yang melakukan
haji tamattu’ dan bagi yang melakukan haji qiron dan ifrod namun belum
melakukan sa’yu setelah thawaf qudum). Disunnahkan untuk melakukan 4
atau 5 amalan ini secara berurutan, namun jika seorang melakukannya
tidak berurutan karena suatu halangan maka tidak mengapa.
6. Wajib mabit di Mina pada malam hari ini (tanggal 10 Dzulhijjah)
dan malam tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah (kecuali bagi yang mengambil
nafar tsani, hendaklah mereka meninggalkan Mina sebelum terbenam
matahari pada tanggal 12 Dzulhijjah.
Batasan Mina dari lembah Muhassir sampai ke jamroh ‘aqobah.
Dianggap telah mabit di Mina jika seorang bermalam di Mina sebagian
besar dari waktu malam. Apakah dihitung setelah terbenam matahari sampai
lewat tengah malam. Atau sebelum tengah malam sampai terbit fajar.
Mabit di Mina tidak harus tidur, yang penting berada di Mina pada sebagian besar atau seluruh waktu malam.
Tidak mengapa pada siang hari ketika masyaqqoh, untuk kembali ke
Mekkah pada siang hari lalu kembali lagi ke Mina pada malam harinya,
namun yang lebih afdhal tetap tinggal di Mina pada siang dan malam
harinya.
Boleh tidak mabit di Mina bagi mereka yang meiliki halangan seperti
sakit, menjaga orang sakit dan lain-lain. Juga bagi mereka yang memiliki
kesibukan untuk kemaslahatan haji seperti para petugas haji, petugas
keamanan dan lain-lain.
Disunnahkan pada setiap malam mabit di Mina untuk mengunjungi kakbah dan melakukan thawaf.
Barangsiapa yang meninggalkan satu malam mabit di Mina dengan
sengaja tanpa ‘udzur maka hendaklah dia bertaubat dan bersedekah sesuai
kemampuan, jika dia menyembelih hewan maka itu lebih baik.
Jika seorang telah berusaha namun tidak mendapat tempat mabit di
Mina, maka tidak mengapa dia mabit di Mekkah atau Muzdalifah atau
‘Aziziyah, dan tidak ada fidyah atasnya.
Tidak boleh turun ke lembah Muhassir.
Selama mabit di Mina hendaklah memperbanyak dzikir dan doa.
Tanggal 11 Dzulhijjah:
1. Jika matahari telah tergelincir, jama’ah haji melempar tiga
jamrah, dimulai dari jamroh sughro (yang terletak di samping masjid
Al-Khaif), lalu jamroh wustho, lalu jamroh kubro (yang dikenal dengan
jamroh ‘aqobah)
Masing-masing dilempar dengan 7 buah batu kecil, jadi totalnya 21 buah.
Caranya sama dengan melempar jamroh ‘aqobah yang sudah dilakukan pada tanggal 10 Dzulhijjah.
Setelah melempar jamroh sughro, disunnahkan maju ke sebelah kanan
lalu berdiri lama sambil mengangkat tangan dan berdoa menghadap kiblat .
Setelah melempar jamroh wustho, disunnahkan maju ke sebelah kiri
lalu berdiri lama sambil mengangkat tangan dan berdoa menghadap kiblat .
Setelah melempar jamroh kubro, tidak disunnahkan untuk berdoa
sebagaimana pada jamrah sughro dan wustho, tapi langsung pergi
meninggalkan jamrah.
Posisi yang disunnahkan ketika melempar jamrah ‘aqobah adalah
menjadikan arah kakbah di samping kanan dan Mina di samping kiri.
Bagi yang tidak mampu melempar boleh mewakilkannya kepada orang lain
dengan syarat orang yang diwakilkan tersebut juga sedang melakukan
haji.
Orang yang mewakili orang lain untuk melempar hendaklah melempar untuk dirinya dulu baru kemudian untuk orang lain.
Bagi yang mampu melempar sendiri namun berhalangan maka tidak boleh
mewakilkannya, akan tetapi boleh baginya menunda semua lemparan sampai
tanggal 12 Dzulhijjah (bagi yang mengambil nafar awal) dan sampai
sebelum terbit matahari pada tanggal 13 Dzulhijjah (bagi yang mengambil
nafar tsani), dan hendaklah dia melempar semua jamroh secara berurutan.
Bagi yang mewakili kedua orang tuanya hendaklah dia mulai untuk dirinya, lalu ibunya terlebih dahulu, kemudian bapaknya.
Tidak boleh melempar jamrah di pagi hari, sebelum tergelincir matahari.
Jika seorang berhalangan, boleh baginya melempar jamrah di malam hari. Namun yang afdhal melempar sebelum terbenam matahari.
2. Pada malam hari, wajib kembali ke Mina untuk mabit.
3. Barangsiapa yang meninggalkan mabit di Mina pada tanggal 11 dan
12 Dzulhijjah dengan sengaja tanpa ‘udzur maka hendaklah dia bertaubat
dan wajib atasnya fidyah berupa sembelihan, disembelih di Mekkah dan
dibagikan kepada fakir miskin Mekkah. Jika meninggalkan salah satu malam
saja maka wajib atasnya taubat dan bersedekah sesuai kemampuan, dan
tidak wajib atasnya menyembelih.
4. Ketentuan mabit di Mina pada hari ini sama dengan malam sebelumnya.
Tanggal 12 Dzulhijjah:
1. Melakukan amalan yang sama dengan tanggal 11 Dzulhijjah.
Kecuali mabit di Mina, bagi yang telah berniat untuk bersegera
mengakhiri amalan hajinya (mengambil nafar awwal) maka hendaklah dia
melempar jamrah setelah matahati tergelincir dan meninggalkan Mina
sebelum terbenam matahari.
Bagi yang terhalang, seperti karena macet dan ramainya manusia maka
tidak mengapa dia melempar jamrah atau meninggalkan Mina setelah
terbenam matahari.
Adapun bagi yang tidak berniat untuk bersegera dan telah terbenam
matahari, maka tidak boleh lagi baginya mengambil nafar awwal. Dia harus
menyempurnakan mabit di Mina pada malam hari ini dan mengambil nafar
tsani.
2. Wajib melakukan thawaf wada’ sebelum meninggalkan Mekkah untuk mengakhiri amalan haji.
Kecuali bagi penduduk Mekkah, tidak diwajibkan atas mereka thawaf
wada’. Akan tetapi bagi yang ingin melakukan safar meninggalkan Mekkah
pada hari-hari haji hendaklah dia melakukan thawaf wada’.
Juga tidak diwajibkan bagi wanita haid dan nifas.
Barangsiapa yang tidak melakukan thawaf wada’ dengan sengaja maka
dia berdosa, wajib atasnya taubat dan fidyah berupa sembelihan.
Bagi yang melakukan thawaf wada’ sebelum melempar jamrah maka tidak
sah thawafnya, jika dia tidak mengulang kembali wajib atasnya fidyah
berupa sembelihan.
Demikian pula bagi yang mewakilkan pelemparan jamrah, hendaklah dia
melakukan thawaf wada’ setelah orang yang mewakilinya selesai melempar.
Disunnahkan untuk membawa air zam-zam ke negerinya.
Setelah melakukan thawaf wada’ tidak boleh lagi tinggal di Mekkah
kecuali karena suatu hajat yang wajib seperti telah masuk waktu shalat
atau karena suatu keperluan yang berhubungan dengan safarnya seperti
membeli hadiah, menunggu teman safarnya dan lain-lain.
Adapun yang masih tinggal di Mekkah selain karena alasan yang
dibolehkan di atas, seperti membeli sesuatu untuk dijual kembali maka
wajib atasnya melakukan thawaf wada’ kembali. Karena wajib menjadikan
thawaf wada’ sebagai akhir dari amalan haji, bukan yang lainnya.
Tidak disyari’atkan keluar dari Masjidil Haram dari pintu yang
bernama babul wada’, sebagaimana tidak pula disyari’atkan bagi yang baru
datang untuk masuk dari pintu babus salam.
Bagi yang menggabungkan thawaf ifadhah dengan thawaf wada’ maka
tidak mengapa walaupun setelahnya dia melakukan sa’yu, sebab sa’yu di
sini bagian dari thawaf ifadhah, sehingga terhitung sebagai akhir
amalannya adalah thawaf.
Tidak disyari’atkan bertabarruk atau berziarah ke jabal nur, gua
hira, jabal tsaur, masjid jin dan berbagai tempat bersejarah lainnya.
Tidak disyari’atkan berjalan mundur ketika meninggalkan kakbah.
Tanggal 13 Dzulhijjah:
1. Melakukan amalan yang sama dengan amalan tanggal 11 dan 12
Dzulhijjah (bagi yang mengambil nafar tsani, yakni belum melakukan
thawaf wada’ pada tanggal 12 Dzulhijjah).
Perbedaan hari ini dengan 2 hari sebelumnya pada waktu melempar
jamrah. Jika waktu melempar jamrah pada dua hari sebelumnya berakhir
pada malam hari, maka pada hari ini berakhir ketika terbenam matahari.
Nafar tsani ini lebih afdhal dibanding nafar awwal.
2. Melakukan thawaf wada’ sebelum meninggalkan Mekkah, sebagaimana penjelasan pada hari sebelumnya di atas.
Dengan melakukan thawaf wada’, berakhir pula seluruh rangkaian
ibadah haji, semoga kaum muslimin dapat meraih haji yang mabrur.
Walhamdulillahi Rabbil’alamiin.
Rujukan:
Catatan pribadi dari pelajaran fiqh pada kitab Ad-Durorul Bahiyyah
karya Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah di Al-Madrasah As-Salafiyyah
Depok yang disampaikan Al-Ustadz Abdul Barr hafizhahullah, 1430 H.
Al-Ikhtiyaraat Al-Fiqhiyyah fi Masaailil ‘Ibaadat wal Mu’aamalaat
min Fatawa Samaahatil ‘Allaamah Al-Imam ‘Abdil ‘Aziz bin ‘Abdillah bin
Baaz –rahimahullah-, ikhtaaroha Khalid bin Su’ud Al-‘Ajmi hafizhahullah,
Bab Shifatul Hajj, hal. 322-352. Cetakan ke-6, 1431 H.
Bayaanu maa yaf’aluhul Haaj wal Mu’tamir, karya Asy-Syaikh Shalih
bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah, terbitan Kantor Pusat Haiah Al-Amri
bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar, 1430 H.
Tabshirun Naasik bi Ahkaamil Manasik ‘ala Dhauil Kitab was Sunnah
wal Ma’tsur ‘anis Shahaabah, karya Asy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd
Al-‘Abbad Al-Badr hafizhahullah, cetakan ke-3, 1430 H.
Jami’ul Manasik, karya Asy-Syaikh Sulthan bin AbdurRahman Al-‘Ied hafizhahullah, cetakan ke-3, 1427 H.
Via: http://kurniantokendal.blogspot.com/2012/09/cara-mudah-memahami-fiqh-haji.html#more
Tidak ada komentar:
Posting Komentar