2. Cantik dan sejuk
dipandang
Tabi’at dan naluri manusia mendambakan dan merindukan
kecantikan, jika ia tidak memperoleh kecantikan maka seakan-akan ada sesuatu
yang kurang yang ingin diraihnya. Dan jika ia telah meraih kecantikan tersebut
maka seakan-akan hatinya telah tenang dan seakan-akan kebahagian telah merasuk
dalam jiwanya. Oleh karena itu Syari’at tidak melalaikan kecantikan sebagai
faktor penting dalam memilih istri. Diantara bukti yang menunjukan pentingnya
faktor yang satu ini, bahwasanya kecintaan dan kedekatan serta kasih sayang
akan semakin terjalin jika faktor ini telah terpenuhi.
Dari Al-Mughiroh bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya
beliau melamar seorang wanita maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
berkata kepadanya
اُنْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى
أَْن يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَا
Lihatlah ia (wanita yang kau lamar tersebut) karena hal itu
akan lebih menimbulkan kasih sayang dan kedekatan diantara kalian berdua[1]
Oleh karenanya disunnahkan bagi seseorang untuk mencari
wanita yang cantik jelita.
Berkata Ibnu Qudamah, “Hendaknya ia memilih wanita yang
cantik jelita agar hatinya lebih tentram serta ia bisa lebih menundukkan
pandangannya dan kecintaannya (mawaddah) kepadanya akan semakin sempurna, oleh
karena itu disyari’atkan nadzor (melihat calon istri) sebelum dinikahi.
Diriwayatkan[2] dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda,
إِنَّمَا النِّسَاءُ لُعَبٌ فَإِذَا
اتَّخَذَ أَحَدُكُمْ لُعْبَةً فَلْيَسْتَحْسِنْهَا
“Para wanita itu ibarat mainan, maka jika salah seorang dari
kalian hendak memiliki sebuah mainan maka hendaknya ia memilih mainan yang baik
(yang cantik) [3]
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Terkadang seseorang termasuk
golongan para pendamba kecantikan maka ia tidak bisa menjaga kemaluannya
kecuali jika menikahi wanita yang cantik jelita”[4]
Berkata Al-Munawi, “Jika pernikahan disebabkan dorongan
kecantikan maka pernikahan ini akan lebih langgeng dibandingkan jika yang
mendorong pernikahan tersebut adalah harta sang wanita, karena kecantikan
adalah sifat yang senantiasa ada pada sang wanita adapun kekayaan adalah sifat
yang bisa hilang dari sang wanita”[5]
Peringatan 1
Imam Ahmad berkata, “Jika seseorang ingin mengkhitbah
(melamar) seorang wanita maka hendaknya yang pertama kali ia tanyakan adalah
kecantikannya, jika dipuji kecantikannya maka ia bertanya tentang agamanya.
Jika kecantikannya tidak dipuji maka ia menolak wanita tersebut bukan karena
agamanya namun karena kecantikannya”[6]
Perkataan Imam Ahmad ini menunjukan akan tingginya fiqh dan
pemahaman beliau karena jika yang pertama kali ditanyakan oleh seseorang
tentang sang wanita adalah agamanya lalu dikabarkan kepadanya bahwa sang wanita
adalah wanita yang shalihah, kemudian tatkala ia memandangnya ternyata sang
wanita bukan merupakan seleranya, lantas iapun tidak menikahi wanita tersebut,
maka berarti ia telah meninggalkan wanita tersebut padahal setelah ia
mengetahui bahwa wanita tersebut adalah wanita yang shalihah.. Jika demikian
maka ia telah termasuk dalam celaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
“maka hendaklah engkau mendapatkan wanita yang baik agamanya (jika tidak kau
lakukan) maka tanganmu akan menempel dengan tanah”
Peringatan 2
Kecantikan adalah hal yang relatif, terkadang seorang wanita
sangatlah cantik di mata seseorang namun menurut orang lain tidaklah demikian,
oleh karena itu disyari’atkan bagi seseorang yang hendak menikah untuk melihat
calon istrinya sehingga bisa diketahui wanita tersebut cantik atau tidak, dan
hendaknya janganlah ia hanya mencukupkan dengan informasi yang masuk kepadanya
tentang kecantikan sang wanita tersebut tanpa memandangnya secara langsung.
Allah ta'ala berfirman
فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ
النِّسَاء
“Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi…” (QS 4:3)
Berkata Syaikh As-Sa’di, “Ayat ini menunjukan bahwasanya
seyogyanya seseorang yang hendak menikah untuk memilih (wanita yang
disenanginya), bahkan syari’at telah membolehkan untuk melihat wanita yang
hendak dinikahinya agar ia berada di atas ilmu tentang wanita yang akan
dinikahinya”[7]
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, “Sesungguhnya penglihatan
orang lain tidak mewakili penglihatan sendiri secara langsung. Bisa jadi
seorang wanita cantik menurut seseorang namun tidak cantik menurut orang yang
lain. Terkadang seseorang –misalnya- melihat seorang wanita dalam suatu kondisi
tertentu bukan pada kondisi sang wanita yang biasanya. Terkadang seseorang
dalam kondisi gembira dan yang semisalnya maka ia mengalami kondisi tersendiri.
Demikian juga tatkala ia sedang sedih maka ia memiliki kondisi yang tersendiri.
Kemudian juga terkadang seorang wanita tatkala mengetahui bahwa ia akan
dinadzor maka iapun menghiasi dirinya dengan banyak hiasan-hiasan, sehingga
tatkala seorang lelaki memandangnya maka ia menyangka bahwa wanita tersebut
sangat cantik jelita, padahal hakekatnya tidaklah demikian”[8]
Namun jika memang seseorang tidak memungkinkan untuk melihat
sang wanita secara langsung maka disunnahkan baginya untuk mewakilkan nadzornya
kepada wanita yang dipercayainya.
Berkata As-Shon’aanii, “Dan jika tidak memungkinkan untuk
melihat sang wanita (secara lagsung) maka disunnahkan[9] untuk mengutus seorang
wanita yang dipercaya untuk melihat wanita tersebut kemudian mengabarkan
kepadanya sifat-sifat wanita tersebut”[10]
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ
النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم أَرَادَ أَنْ يَتَزَوَّجَ امْرَأَةً فَبَعَثَ
امْرَأَةً لِتَنْظُرَ إِلَيْهَا فَقَالَ شُمِّي عَوَارِضَهَا وَانْظُرِي إِلَى
عُرْقُوْبَيْهَا
Dari Anas bin Malik shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menikahi seorang wanita maka beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengutus seorang wanita (yaitu Ummu Salamah)
untuk melihat wanita tersebut seraya berkata, ((Ciumlah (bau) gigi ‘aridhnya
(yaitu gigi-gigi yang terletak antara gigi seri dan gigi geraham)[11] dan
lihatlah ‘uqrubnya (‘uqrub adalah bagian belakang mata kaki yang terletak
antara betis dan sendi (tungkak)
kaki)[12])) [13]
Peringatan 3 (Syarat bolehnya melihat calon istri)
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, "Syarat untuk boleh melihat
calon istri ada enam :
1. Tidak
berkholwat (berdua-duaan) dengan sang wanita tatkala memandangnya.
Karena sang wanita masih merupakan wanita ajnabiah bagi sang
lelaki. Dan wanita ajnabiah tidak boleh berkholwat dengan seorang lelaki karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ
إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ
Dan janganlah seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang
wanita kecuali jika sang wanita bersama mahromnya[14]
Dan larangan ini menunjukan akan haramnya hal ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ
إِلاَّ كَانَ ثَالِثُهُمَا الشَّيْطَانُ
Tidaklah seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang wanita
kecuali syaitan adalah orang ketiga diantara mereka berdua[15]
Hadits ini menunjukan bahwa pengharamannya yang
ditekankan[16]
Jika memungkinkan baginya untuk menadzor sang wanita melalui
kesepakatan dengan wali sang wanita yaitu sang wali ikut hadir bersamanya maka
ia bisa melakukannya. Dan jika tidak memungkinkan maka boleh baginya untuk
bersembunyi ditempat yang biasanya dilewati oleh sang wanita dan tempat-tempat
yang semisalnya kemudian ia melihat kepada sang wanita tersebut.[17]
2. Hendaknya
memandangnya dengan tanpa syahwat karena nadzor (memandang) wanita ajnabiah
karena syahwat diharamkan. Dan maksud dari melihat calon istri adalah untuk
mengetahui kondisinya bukan untuk menikmatinya
3. Hendaknya ia
memiliki prasangka kuat bahwa sang wanita akan menerima lamarannya.
Jika dikatakan bagaimana ia bisa tahu bahwa ia akan diterima
oleh sang wanita (ada kemungkinan bahwa lamarannya diterima-pen)??.
Jawabannya bahwsanya Allah menjadikan manusia
bertingkat-tingkat sebagaimana firmanNya
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم
مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ
دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضاً سُخْرِيّاً وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ
مِّمَّا يَجْمَعُونَ (الزخرف : 32 )
Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam
kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian
yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan
sebahagian yang lain. (QS. 43:32)
Jika salah seorang tukang sapu maju untuk melamar anak
seoang mentri maka biasanya ia akan ditolak. Demikian juga seseorang yang telah
tua dan tuli ingin maju melamar seorang gadis yang cantik maka ia tentunya
memiliki persangkaan kuat bahwa ia akan ditolak.[18]
4. Hendaknya ia
memandang kepada apa yang biasanya nampak (terbuka) dari tubuh sang wanita.
Seperti wajah, leher, tangan, kaki, dan yang semisalnya.
Adapun ia melihat bagian-bagian tubuh sang wanita yang biasanya tidak terbuka
maka hal ini tidak diperbolehkan. Perkataan “yang biasanya (nampak dari diri
seorang wanita)” terkait dengan ‘urf (adat) yang berlaku di zaman As-Salaf
As-Sholeh bukan dengan adat sembarang orang[19]. Karena kalau hal ini kita
kembalikan kepada adat setiap orang maka perkaranya akan tidak teratur dan akan
timbul banyak perselisihan. Akan tetapi maksudnya adalah apa yang biasanya
terbuka pada diri sang wanita dihadapan mahromnya. Dan yang paling penting
dalam hal ini adalah wajah.[20]
Syaikh Utsaimin juga memboleh sang wanita untuk menampakkan
rambutnya kepada sang lelaki yang hendak melamarnya.[21]
Dan boleh juga sebaliknya bagi sang wanita untuk melihat
kepada sang lelaki, melihat kepada wajahnya, kakinya, lehernya, dan rambutnya
sebagaimana sang lelaki melihatnya, karena kedua belah pihak butuh untuk
melihat pasangannya.[22]
5. Hendaknya ia
benar-benar bertekad untuk melamar sang wanita. Yaitu hendaknya pandangannya
terhadap sang wanita itu merupakan hasil dari keseriusannya untuk maju menemui
wali wanita tersebut untuk melamar putri mereka. Adapun jika ia hanya ingin
berputar-putar melihat-lihat para wanita (satu per satu) maka ia tidaklah
diperbolehkan.
6. Hendaknya sang
wanita yang dinadzornya tidak bertabarruj, memakai wangi-wangian, memakai
celak, atau yang sarana-sarana kecantikan yang lainnya. Karena bukanlah
maksudnya sang lelaki ditarik hatinya untuk menjimaki sang wanita hingga sang
wanita berpenampilan dan bermacak sebagaimana seorang wanita yang berhias di
hadapan suaminya agar menarik suaminya untuk berjimak. Hal ini juga bisa
menimbulkan fitnah, dan asalnya adalah haram karena ia masih merupakan wanita
ajnabiah. Selain itu sikap sang wanita yang demikian ini dihadapan sang lelaki
pelamar akan memberikan akibat buruk kepada sang lelaki, karena jika sang
lelaki kemudian menikahinya lalu mendapatinya tidak sebagaimana tatkala ia
menadzornya maka jadilah ia tidak tertarik lagi kepadanya, serta berubahlah
penilaian sang lelaki kepadanya. Terutama bahwasanya syaitan menghiasi dan
menjadikan wanita yang tidak halal bagi seorang lelaki lebih cantik dipandangan lelaki tersebut
dibanding istrinya. Oleh karena itu engkau dapati –semoga Allah melindungi
kita- sebagian orang istrinya sangat cantik jelita, kemudian ia melihat seorang
wanita yang jelek namun wanita tersebut menjadikannya bernafsu, karena syaitan
menghiasi sang wanita tersebut dipandangan sang lelaki karena wanita tersebut
tidak halal baginya. Jika tergabung antara perbuatan syaitan ini dengan tingkah
sang wanita yang juga berhias diri sehingga menambah kecantikannya dan
keindahannya, lantas setelah pernikahan sang lelaki mendapati sang wanita tidak
sebagaimana gambarannya maka akan timbul akibat yang buruk"[23]
Boleh bagi sang lelaki untuk mengulang-ngulangi nadzor
kepada sang wanita karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ
فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا
فَلْيَفْعَلْ
Jika salah seorang dari kalian ingin melamar seorang wanita
maka jika dia mampu untuk memandang pada wanita tersebut apa yang mendorongnya
untuk menakahi sang wanita maka hendaknya ia lakukan[24]
Jika pada nadzor yang pertama yang dilakukannya ia tidak
mendapati pada diri wanita tersebut apa yang memotivasinya untuk menikahi sang
wanita maka hendaknya ia menadzor lagi sang wanita untuk yang kedua kali dan
yang ketiga kalinya.[25]
Hukum berbicara dengan wanita yang akan dikhitbah??, atau
dengan wanita yang sudah ia khitbah namun belum akad nikah??
Syaikh Utsaimin berkata, “Suara wanita bukanlah aurat
berdasarkan nash Al-Qur’an. Allah berfirman kepada Ummahatul Mukminin para
istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ
فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ (الأحزاب : 32 )
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya (QS. 33:32)
Firman Allah ((Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara))
merupakan idzin (bagi wanita) untuk berbicara dengan lelaki, dan suara wanita
boleh untuk didengar oleh lelaki akan tetapi tanpa menunduk-nundukan suara
tatkala berbicara. Demikian juga para wanita di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, seorang diantara mereka datang menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam di majelis beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya
kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para lelaki hadir tatkala itu.
Maka tidak mengapa bagi seorang lelaki untuk mendengar suara seorang wanita.
Akan tetapi sekarang permasalahannya apakah para lelaki yang mendengar suara
wanita menikmati dan berlezat-lezat mendengarkan suara wanita tersebut?. Maka
yang bertanggung jawab adalah sang lelaki yang berlezat-lezat mendengar suara
wanita. Adapun suara wanita itu sendiri bukanlah aurat”[26]
Demikian juga fatwa Syaikh Bin Baaz bahwa suara wanita
bukanlah aurat.[27]
Jika pembicaraan yang terjadi antara seorang lelaki dengan
wanita yang akan dikhitbahnya adalah pembicaraan yang biasa sebagaimana jika
sang lelaki berbicara dengan wanita yang lainnya, maka hal ini tidak mengapa.
Dan ini merupakan pendapat Syaikh Bin Baaz dan dzohir dari perkataan Syaikh
Al-Albani (sebagaimana akan datang), karena asalnya suara wanita bukanlah
aurat.
Syaikh Bin Baaz berkata, “Boleh bagi seorang lelaki jika
ingin mengkhitbah seorang wanita untuk berbicara dengan wanita yang akan
dikhitbahnya tersebut, dan boleh untuk memandangnya dengan tanpa kholwat….dan
memandang lebih parah daripada berbicara (padahal melihat wanita yang akan
dikhitbah diperbolehkan maka bagaimana lagi dengan berbicara-pen). Maka jika
pembicaraan dengan sang wanita tentang perkara-perkara yang berkaitan dengan
pernikahan atau tempat tinggal, perjalanan hidup sang wanita hingga diketahui
apakah sang wanita mengetahui ini dan itu, maka tidaklah mengapa jika sang
lelaki ingin mengkhitbahnya. Adapun jika ia tidak ingin mengkhitbahnya maka
tidak boleh baginya untuk berbicara dengannya. Namun selama ia ingin
mengkhitbahnya maka tidak mengapa baginya untuk membahas dengan sang wanita
perkara-perkara yang berkaitan dengan khitbah, tentang keinginannya menikahi
sang wanita, dan sang wanita juga demikian tanpa adanya kholwat, akan tetapi
dari jarak jauh (misalnya melalui telepon-pen[28]) atau ditemani ayahnya atau
saudara laki-lakinya atau ibunya dan yang semisalnya”[29]
Syaikh Bin Baaz juga ditanya, “Apa hukum pembicaraan melalui
telepon antara seorang lelaki dengan wanita yang telah dikhitbahnya, dan maksud
dari pembicaraan ini adalah untuk (lebih) saling mengenal sebelum keduanya
terikat dengan tali pernikahan..??”
Syaikh Bin Baaz Menjawab, “Kami tidak mengetahui adanya
larangan pembicaraan antara seorang lelaki dengan wanita yang telah
dikhitbahnya jika pembicaraan yang berlangsung terlepas dari perkara-perkara
yang dilarang dan tidak mengantarkan kepada keburukan akan tetapi maksudnya
adalah untuk saling mengenal (menjajaki), yang lelaki bertanya dan yang wanita
juga bertanya. Hal ini tidak mengapa. Sang wanita bertanya tentang keadaan sang
lelaki, pekerjaannya…, dan sang lelaki juga bertanya kepada sang wanita dengan
pertanyaan-pertanyaan yang semisal dengan maksud untuk lebih mendapatkan
keyakinan sebelum melanjutkan pada jenjang pernikahan, maka hal ini tidak
mengapa. Adapun jika maksud dari pembicaraan adalah selain dari pada itu
seperti untuk menikmati suara sang lelaki atau suara sang wanita atau membuat
janji-janji yang akhirnya mengantarkan kepada perbuatan keji maka inilah yang
tidak diperbolehkan. Maka yang wajib bagi mereka berdua adalah berbicara pada
perkara-perkara yang memang diperlukan dalam urusan khitbah.. Adapun
perkara-perkara yang dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah maka wajib untuk
dijauhi”[30]
Jika seorang lelaki kawatir dirinya tatkala berbicara dengan
sang wanita melalui telepon bisa menimbulkan fitnah –atau ia berledzat-ledzatan
dengan pembicaraan tersebut sehingga pembicaraannya melebar dan tidak ada
kaitannya dengan proses khitbah- maka hendaknya dia tidak berbicara dengan sang
wanita. Oleh karena itu Syaikh Ibnu Utsaimin pernah berkata, “Bolehkah bagi
sang lelaki untuk berbicara dengan sang wanita (yang mau ia nadzor)?,
jawabannya adalah tidak, karena pembicaraan lebih memotivasi syahwat dan rasa
nikmat mendengar suaranya. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, ((Hendaknya ia melihat kepadanya)), dan tidak berkata, ((Hendaknya ia
mendengar suaranya))”[31]
Terlebih lagi jika sang lelaki telah mengkhitbah sang
wanita, maka biasanya mereka berdua merasa seakan-akan telah terangkat hijab
yang membatasi mereka berdua, seakan-akan telah ada perasaan khusus yang
mengalir di hati mereka berdua. Perasaan khusus inilah yang dimanfaatkan oleh
syaitan untuk menggelincirkan mereka berdua, padahal sang wanita hukumnya
adalah masih wanita ajanabiah bagi sang lelaki sebagaimana wanita-wanita yang
lainnya. Oleh karena itu pembicaraan yang terjadi antara seorang lelaki dengan
wanita yang telah dikhitbahnya biasanya lebih dikhawatirkan lagi bahayanya.
Syaikh Al-Albani pernah ditanya, “Bolehkah aku berbicara
dengan wanita yang telah aku khitbah (lamar) melalui telepon?”, maka beliau
menjawab, “Tidak boleh selama engkau belum melaksanakan akad nikah dengannya”.
Penanya berkata, “Meskipun aku meneleponnya dalam rangka untuk menasehatinya?”,
Syaikh berkata, “Tidak boleh”
Penanya berkata, “Bolehkah aku -tatkala mengunjunginya-
berbicara dengannya jika dia disertai mahromnya?”, Syaikh berkata, “Boleh, akan
tetapi engkau hanya boleh berbicara dengannya sebagaimana engkau berbicara
dengan wanita yang lain” [32]
Peringatan 4
Sebagian salaf membenci untuk menikahi wanita yang terlalu
cantik, berkata Al-Munawi, “…dan para salaf membenci wanita yang terlalu cantik
karena hal ini menimbulkan sikap mentang-mentang (terlalu pede) pada wang
wanita yang akhirnya mengantarkannya kepada sikap perendahan terhadap sang
pria”[33]
Ada sebuah hadits yang menunjukan larangan menikahi seorang
wanita karena selain agamanya, dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda
لاَ تُنكِحوا النساءَ لِحُسْنِهن
فَلَعَلَّهُ يُرْدِيْهِنَّ، ولا لِمَالِهِنَّ فَلَعَلَّهُ يُطْغِيْهِنَّ
وَانْكِحُوْهُنَّ لِلدِّيْنَ. وَلَأَمَةٌ سَوْدَاءُ خَرْمَاءُ ذاتُ دِينٍ أَفْضَلُ
“Janganlah kalian menikahi para wanita karena kecantikan
mereka karena bisa jadi kecantikan mereka menjerumuskan mereka kedalam
kebinasaan (karena akan menimbulkan sifat ujub dan takabbur pada mereka), dan
janganlah kalian menikahi para wanita karena hartanya karena bisa jadi harta
mereka menjadikan mereka berbuat hal-hal yang melampaui batas (menjatuhkan
mereka kedalam kemaksiatan dan kejelekan), namun nikahilah para wanita karena
agama mereka, sesungguhnya seorang budak wanita yang hitam dan terpotong
sebagian hidungnya dan telinga yang berlubang namun agamanya baik itu lebih
baik” [34]
Namun hadits ini lemah, tidak bisa dijadikan hujjah.
Bersambung …
Di susun oleh Abu Abdil Muhsin Firanda
Artikel www.firanda.com
Catatan kaki
-------------------
[1] HR At-Thirmidzi III/397 no 1087, Ibnu Majah no 1865 dan
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani. (Lihat As-Shahihah no 96)
[2] Hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Al-Albani dalam
Ad-Dho’ifah 1/675 no 462
[3] Al-Mugni 7/82
[4] Ceramah Syikh Ibnu Utsaimin (Syarh Bulugul Maram, kitab
An-Nikaah kaset no 2)
[5] Faidhul Qodir 3/271
[6] Syarh Muntaha Al-Irodaat 2/623
[7] Tafsir As-a’di I/164
[8] Asy-Syarhul Mumti’ XII/20.
Sebagian orang tatkala mencari informasi tentang wanita yang
diincarnya maka iapun menanyakan dan meyerahkan hal ini pada seorang wanita,
baik adik wanitanya, atau seorang wanita yang ia percayai. Namun yang perlu
diingat pandangan seorang wanita tidak sama dengan pandangan seorang lelaki
dalam menilai kecantikan seseorang. Yang lebih menyedihkan terkadang jika sang
wanita yang ia percayai tersebut merupakan sahabat wanita yang diincarnya maka
sang wanita akan mengabarkan bahwa wanita yang diincarnya tersebut sangatlah
cantik, karena ia merupakan sahabatnya sehingga penilaiannya tidaklah objektif.
Sebaliknya jika terjadi permusuhan antara kedua wanita tersebut maka
kebenciannya itu akan menjadikannya sang wanita buruk dipandangannya. Oleh
karena itu jalan keluarnya adalah hendaknya seorang lelaki melihat calon
istrinya secara langsung. Memang benar sebelum ia memandang hendaknya ia
mencari informasi yang akurat tentang wanita incarannya itu, namun ia sebaiknya
tetap melihatnya.
[9] Dan Al-‘Aini telah menyatakan hal ini sebelum
As-Shon’aani dalam Umdatul Qori’ XX/119
[10] Subulus Salam III/113
[11] Subulus Salam III/113. Berkata As-Shon’aani, “Maksudnya
adalah mencium bau mulutnya”
[12] Lihat An-Nihayah fi ghoriibil hadits III/221
[13] HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok II/180 no 2699 kemudian
berkata, “Ini adalah hadits shahih sesuai dengan kriteria Mjuslim dan tidak
dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim”. Dikeluarkan juga oleh Ahmad III/231 no
13448 dan ‘Abd bin Humaid I/408 no 1388.
[14] HR Al-Bukhari no 3006 dan Muslim 1341
[15] HR Ahmad 1/18, Ibnu Hibban (lihat shahih Ibnu Hibban
1/436), At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth 2/184 , dan Al-Baihaqi dalam
sunannya 7/91. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 1/792 no 430
[16] Asy-Syarhul Mumti’ XII/22
[17] Asy-Syarhul Mumti’ XII/20
[18] Asy-Syarhul Mumti’ XII/23
[19] Kalau kita kembalikan kepada adat wanita sekarang ini
maka akan sangat bahaya sekali, apalagi adat wanita barat yang biasa membuka
auratnya dengan begitu bebasnya dihadapan umum…!!!
[20] Asy-Syarhul Mumti’ XII/21
[21] Nuur ‘alaa Ad-Darb kaset no 165 side B
Peringatan
Memang ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang
bagian tubuh wanita yang boleh dilihat tatkala nadzor. Mayoritas ulama berpendapat
bahwa bagian tubuh wanita yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua tangan
(Nailul Authoor VI/240). Akan tetapi pendapat ini masih perlu diteliti lagi
mengingat ada atsar yang menyelisihi hal ini
Berkata Ibnu Hajar dalam At-Talkhiis Al-Habiir (III/147),
“Abdurrozzaaq (Al-Mushonnaf VI/163 no 10352), Sa’iid bin Manshuur, dan Ibnu Abi
‘Amr meriwayatkan dari Sufyaan, dari ‘Amr bin Diinaar dari Muhammad bin ‘Ali
bin Al-Hanafiyah, bahwasanya Umar bin Al-Khotthoob melamar Ummu Kaltsuum putri
Ali bin Abi Tholib. Lalu Ali menjelaskan kepada Umar bahwa putrinya masih
kecil. Ali berkata, “Aku akan mengutusnya kepadamu, jika ia ridho maka ia
adalah istrimu”. Maka Alipun mengutus putrinya (Ummu Kaltsuum) ke Umar, lalu
Umar menyingkap betis Ummu Kaltsuum. Ummu Kaltsuumpun berkata, “Kalau engkau
bukanlah pemimpin kaum muslimin maka aku akan menampar matamu”.
Dan atsar ini merupakan problem bagi orang-orang yang
menyatakan bahwa tidak boleh melihat tatkala nadzor kecuali wajah dan kedua
tangan”
Adapun pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (X/30) bahwasanya
boleh melihat seluruh tubuh sang wanita dengan berdalil kisah Jabir yang
bersembunyi untuk melihat wanita yang ingin dipinangnya maka ini merupakan
pendapat yang aneh dan sepanjang pengetahuan penulis hanya beliau yang
berpendapat demikian.
Ketika kami (penulis) bertanya kepada guru kami Syaikh Abdul
Qoyyum tentang pendapat Ibnu Hazm maka beliau berkata, “Buruknya pendapat ini
tidak perlu dibantah, apakah sang wanita yang diintip Jabir suka berjalan
sambil bertelanjang??, tentunya ia berjalan sambil membuka yang biasanya
terbuka di hadapan mahramnya”
Syaikh Al-Albani mengomentari pendapat Ibnu Hazm, “Dan
hadits Jabir meskipun tidak menunjukan pendapat Ibnu Hazm akan tetapi tidak
diragukan lagi bahwasanya hadits ini menunjukan ukuran yang lebih dari pendapat
Jumhur (yaitu lebih daripada wajah dan kedua tangan), Wallahu A’lam”
(At-Ta’liiqoot Ar-Rodhiyyah ‘ala Ar-Roudhoh An-Nadiyyah II/154)
Oleh karena itu pendapat yang dipilih oleh Syaikh Ibnu
‘Utsaimin di atas merupakan pendapat yang paling tengah.
[22] Fatwa Syaikh Utsaimin dalam Nuur ‘alaa Ad-Darb kaset no
318 side B. Dan ini merupakan pendapat jumhur ahli fiqih dari madzhab Hanafiah,
Malikiah, As-Syafi’iah, dan Hanabilah. Hal ini dikarenakan bahwa seluruh
perkara (hikmah) yang tersebutkan dalam hadits-hadits yang menunjukan alasan
dibolehkannya seorang lelaki melihat wanita yang akan dilamarnya juga berlaku
bagi sang wanita. Wanita juga berhak untuk mencari seorang suami yang tampan
dan terbebas dari aib karena hal ini juga akan mendukung langgengnya rumah
tangga. Bahkan terkadang hal sangat penting bagi sang wanita karena ia tidak
bisa meninggalkan suaminya jika ternyata suaminya tidak membahagiakannya atau
terdapat aib-aib pada suaminya kecuali dengan sangat sulit sekali. Berbeda
dengan lelaki, yang jika istrinya tidak menyenangkannya maka mudah baginya
untuk menceraikannya. Wallahu A’lam (Lihat Ahkaam Ar-Ru’yah ‘indal khitbah
18-19)
[23] Asy-Syarhul Mumti’ XII/22-23
[24] HR Ahmad IV/245, At-Thirmidzi no 1087. An-Nasai no 1865
dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (As-Shahihah no 204)
[25] Asy-Syarhul Mumti’ XII/21
[26] Liqoo Al-Baab Al-Maftuuh kaset no 145 side A
[27] Nuur ‘alaa Ad-Darb kaset no 890
Sebagian wanita terlalu berlebihan sehingga berbicara dengan
para lelaki dengan suara yang keras karena salah menerapkan firman Allah ((Maka
janganlah kamu tunduk dalam berbicara)).
Syaikh Bin Baaz berkata, “Hendaknya seorang wanita berbicara
dengan wajar (sikap tengah), tidak berlebih-lebihan (dengan mengangkat
suaranya) dan tidak pula menunduk-nundukan suaranya. Oleh karena itu Allah
berfirman وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا
((Dan hendaknya kalian berucap dengan ucapan yang ma’ruf)). Inilah yang
semestinya seorang wanita, hendaknya bersikap tengah (wajar) tatkala
berbicara…” (Silsilah Al-Huda wan Nuur kaset no 269)
[28] Karena soal yang ditujukan penanya kepada Syaikh Bin
Baaz berkaitan dengan hukum sang penanya yang berbicara dengan wanita yang akan
dikhitbahnya melalui telepon (Lihat teks pertanyaannya dalam Majmu’ Fatawa wa
maqoolaat mutanawwi’ah XX/431)
[29] Majmu’ Fatawa wa maqoolaat mutanawwi’ah XX/431
[30] Nuur ‘alaa Ad-Darb kaset no 342
[31] Asy-Syarhul Mumti’ XII/21
[32] Silsilah Al-Huda wan Nuur kaset no 269
[33] Faidhul Qodir 3/271
[34]HR Ibnu Majah, Al-Bazzar, dan Al-Baihaqi, dan didhoifkan
oleh Syaikh Al-Albani (Ad-Dho’ifah 3/172), Dhoful Jami’ no 6216.
Sumber:
http://www.firanda.com/index.php/artikel/keluarga/42-kriteria-calon-istri-idaman-seri2-
Nice For U, Dont Forget Me.. And Yu See My Web - Regards :
BalasHapusobat kuat viagra
obat viagra
viagra asli
beli viagra
http://viagra-id.com/obat-kuat/distributor-harga-obat-kuat-viagra/
Nice For U, Dont Forget Me.. And Yu See My Web - Regards :
http://viagra-id.com/obat-kuat/distributor-harga-obat-kuat-viagra/