Letak Kesepakatan
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullâh berkata, “Dan para ulama telah bersepakat bahwa tidak ada batasan dan ukuran tertentu dalam shalat Lail karena (shalat) itu adalah shalat Nafilah. Barangsiapa yang berkehendak, ia memperpanjang dalam hal berdiri dan mengurangi rakaat, dan barangsiapa yang berkehendak, ia memperbanyak ruku’ dan sujud.”[1]
Letak Persilangan Pendapat
Terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama tentang jumlah rakaat shalat Tarawih.
Menurut Abu Hanîfah, Ats-Tsaury, Asy-Syâfi’iy, Ahmad, dan selainnya, jumlah rakaat shalat Tarawih tanpa shalat Witir adalah dua puluh rakaat. Oleh Al-Qâdhi ‘Iyâdh dan selainnya, pendapat ini disandarkan kepada pendapat jumhur ulama.
Di sisi lain, Imam Malik berpendapat bahwa jumlah rakaat shalat Tarawih adalah tiga puluh enam rakaat.
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâh menyebutkan bahwa Imam Ahmad memberi nash bahwa dua puluh, tiga puluh enam (tanpa shalat Witir), sebelas, dan tiga belas (dengan shalat Witir), semuanya adalah bagus.[2]
Imam At-Tirmidzy berkata,
“Para ulama bersilang pendapat tentang qiyâm Ramadhan. Sebagian berpendapat bahwa shalat itu, bersama shalat Witir, berjumlah empat puluh satu rakaat. Hal ini adalah pendapat ulama Madinah, dan amalan mereka di Madinah di atas hal ini.
Berdasarkan riwayat dari Umar, Ali, dan selain keduanya di antara shahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, kebanyakan ulama berpendapat (bahwa shalat itu bersama witir) berjumlah dua puluh rakaat. Ini adalah pendapat Ats-Tsaury, Ibnul Mubarak, dan Asy-Syâfi’iy.
Asy-Syâfi’iy berkata, ‘Demikianlah kami mendapati bahwa, di negeri kami, Makkah, mereka melaksanakan shalat itu sebanyak dua puluh rakaat.’
Ahmad berkata, ‘Dalam hal ini, diriwayatkan (beberapa bentuk pelaksanaan),’ tetapi beliau sendiri tidak memutuskan (bentuk) yang kuat.
Ishaq berkata, ‘Bahkan, kami memilih empat puluh satu rakaat berdasarkan riwayat dari Ubay bin Ka’ab.’.”[3]
Tarjih
Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, beliau berkata,
Juga dalam hadits ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ riwayat Muslim bahwa beliau berkata,
Disebutkan pula, jumlah tiga belas rakaat dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry dan Muslim bahwa Ibnu ‘Abbas berkata,
Selain itu, dalam hadits Zaid bin Khâlid Al-Juhany radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim, Zaid berkata,
Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Kebanyakan atsar menunjukkan bahwa shalat beliau berjumlah sebelas rakaat juga diriwayatkan tiga belas rakaat.”
Namun, jumlah sebelas dan tiga belas rakaat ini bukanlah pembatasan. Bagi seseorang yang ingin mengerjakan shalat lebih dari jumlah itu, tidaklah mengapa, berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Demikian pendapat yang dikuatkan oleh Al-Lajnah Ad-Dâ`imah, lembaga yang diketuai oleh Syaikh Ibnu Bâz, dan merupakan pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil, dan selainnya.
Adapun Syaikh Al-Albâny, beliau berpendapat bahwa shalat Tarawih wajib terbatas pada sebelas atau tiga belas rakaat.
Kelemahan Hadits Shalat Tarawih Dua Puluh Rakaat
Dalam Shalâtut Tarâwîh hal. 19-21 (cet. kedua), Syaikh Al-Albâny menjelaskan dengan lengkap bahwa hadits yang mengatakan bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat adalah hadits yang lemah sekali.
Pada hal. 48-56, Syaikh Al-Albâny menegaskan kelemahan penisbahan pelaksanaan dua puluh rakaat kepada ‘Umar bin Khaththâb disertai dengan nukilan pelemahan dari beberapa imam, dan menyebutkan bahwa pelaksanaan yang benar dari ‘Umar adalah sebanyak sebelas rakaat.
Selain itu, pada hal. 65-71, beliau menerangkan bahwa tidak ada nukilan sah, dari seorang shahabat pun, tentang pelaksanaan dua puluh rakaat.
Terakhir, pada hal. 72-74, beliau membantah persangkaan sebagian orang yang mengatakan bahwa syariat dua puluh rakaat merupakan kesepakatan para ulama.[9]
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullâh berkata, “Dan para ulama telah bersepakat bahwa tidak ada batasan dan ukuran tertentu dalam shalat Lail karena (shalat) itu adalah shalat Nafilah. Barangsiapa yang berkehendak, ia memperpanjang dalam hal berdiri dan mengurangi rakaat, dan barangsiapa yang berkehendak, ia memperbanyak ruku’ dan sujud.”[1]
Letak Persilangan Pendapat
Terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama tentang jumlah rakaat shalat Tarawih.
Menurut Abu Hanîfah, Ats-Tsaury, Asy-Syâfi’iy, Ahmad, dan selainnya, jumlah rakaat shalat Tarawih tanpa shalat Witir adalah dua puluh rakaat. Oleh Al-Qâdhi ‘Iyâdh dan selainnya, pendapat ini disandarkan kepada pendapat jumhur ulama.
Di sisi lain, Imam Malik berpendapat bahwa jumlah rakaat shalat Tarawih adalah tiga puluh enam rakaat.
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâh menyebutkan bahwa Imam Ahmad memberi nash bahwa dua puluh, tiga puluh enam (tanpa shalat Witir), sebelas, dan tiga belas (dengan shalat Witir), semuanya adalah bagus.[2]
Imam At-Tirmidzy berkata,
“Para ulama bersilang pendapat tentang qiyâm Ramadhan. Sebagian berpendapat bahwa shalat itu, bersama shalat Witir, berjumlah empat puluh satu rakaat. Hal ini adalah pendapat ulama Madinah, dan amalan mereka di Madinah di atas hal ini.
Berdasarkan riwayat dari Umar, Ali, dan selain keduanya di antara shahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, kebanyakan ulama berpendapat (bahwa shalat itu bersama witir) berjumlah dua puluh rakaat. Ini adalah pendapat Ats-Tsaury, Ibnul Mubarak, dan Asy-Syâfi’iy.
Asy-Syâfi’iy berkata, ‘Demikianlah kami mendapati bahwa, di negeri kami, Makkah, mereka melaksanakan shalat itu sebanyak dua puluh rakaat.’
Ahmad berkata, ‘Dalam hal ini, diriwayatkan (beberapa bentuk pelaksanaan),’ tetapi beliau sendiri tidak memutuskan (bentuk) yang kuat.
Ishaq berkata, ‘Bahkan, kami memilih empat puluh satu rakaat berdasarkan riwayat dari Ubay bin Ka’ab.’.”[3]
Tarjih
Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, beliau berkata,
مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلَا فِيْ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى
عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Tidaklah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menambah dalam
Ramadhan dan tidak (pula) pada bulan lain melebihi sebelas rakaat.” [4]Juga dalam hadits ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ riwayat Muslim bahwa beliau berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّيْ فِيْمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرَغَ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ
إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ
رَكْعَتَيْنِ وَيُوْتِرُ بِوَاحَدَةٍ
“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat
sebanyak sebelas rakaat sejak selesai (mengerjakan) shalat Isya sampai
shalat Fajr (shalat Shubuh). Beliau memberi salam (mengakhiri
pelaksanaan shalat) setiap dua rakaat dan mengerjakan shalat Witir
sebanyak satu rakaat.” [5]Disebutkan pula, jumlah tiga belas rakaat dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry dan Muslim bahwa Ibnu ‘Abbas berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيْ مِنَ اللَّيْلِ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Adalah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat tiga belas rakaat pada malam hari.” [6]Selain itu, dalam hadits Zaid bin Khâlid Al-Juhany radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim, Zaid berkata,
لَأَرْمُقَنَّ صَلاَةَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّيْلَةَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيْفِتَيْنِ
ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ طَوِيْلَتَيْنِ طَوِيْلَتَيْنِ طَوِيْلَتَيْنِ
ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُوْنَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ
صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُوْنَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى
رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُوْنَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى
رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُوْنَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ أَوْتَرَ
فَذَلِكَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Sungguh saya akan memperhatikan (pelaksanaan) shalat Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam pada malam hari, maka beliau mengerjakan
shalat dua rakaat ringan, kemudian mengerjakan shalat dua rakaat
panjang, panjang, panjang sekali, lalu mengerjakan shalat dua rakaat
yang lebih pendek daripada dua rakaat sebelumnya, selanjutnya
mengerjakan shalat dua rakaat, dan keduanya lebih pendek daripada dua
rakaat sebelumnya, kemudian mengerjakan shalat dua rakaat, dan keduanya
lebih pendek daripada dua rakaat sebelumnya, lalu mengerjakan shalat dua
rakaat dan keduanya lebih pendek daripada dua rakaat sebelumnya,
selanjutnya mengerjakan shalat Witir. Maka, itu (berjumlah) tiga belas
rakaat.” [7]Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Kebanyakan atsar menunjukkan bahwa shalat beliau berjumlah sebelas rakaat juga diriwayatkan tiga belas rakaat.”
Namun, jumlah sebelas dan tiga belas rakaat ini bukanlah pembatasan. Bagi seseorang yang ingin mengerjakan shalat lebih dari jumlah itu, tidaklah mengapa, berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصَّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوْتَرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam (dikerjakan sebanyak) dua (rakaat)-dua (rakaat).
Apabila khawatir bahwa waktu shubuh (telah masuk), (hendaknya) salah
seorang dari kalian mengerjakan shalat Witir sebanyak satu rakaat, maka
menjadi witirlah shalat yang telah dikerjakannya.” [8]Demikian pendapat yang dikuatkan oleh Al-Lajnah Ad-Dâ`imah, lembaga yang diketuai oleh Syaikh Ibnu Bâz, dan merupakan pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil, dan selainnya.
Adapun Syaikh Al-Albâny, beliau berpendapat bahwa shalat Tarawih wajib terbatas pada sebelas atau tiga belas rakaat.
Kelemahan Hadits Shalat Tarawih Dua Puluh Rakaat
Dalam Shalâtut Tarâwîh hal. 19-21 (cet. kedua), Syaikh Al-Albâny menjelaskan dengan lengkap bahwa hadits yang mengatakan bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat adalah hadits yang lemah sekali.
Pada hal. 48-56, Syaikh Al-Albâny menegaskan kelemahan penisbahan pelaksanaan dua puluh rakaat kepada ‘Umar bin Khaththâb disertai dengan nukilan pelemahan dari beberapa imam, dan menyebutkan bahwa pelaksanaan yang benar dari ‘Umar adalah sebanyak sebelas rakaat.
Selain itu, pada hal. 65-71, beliau menerangkan bahwa tidak ada nukilan sah, dari seorang shahabat pun, tentang pelaksanaan dua puluh rakaat.
Terakhir, pada hal. 72-74, beliau membantah persangkaan sebagian orang yang mengatakan bahwa syariat dua puluh rakaat merupakan kesepakatan para ulama.[9]
[1] Al-Istidzkâr 2/99.
[2] Majmû’ Al-Fatâwâ 23/112-113.
[3] Demikian uraian Imam At-Tirmidzy tentang pendapat ulama dalam hal ini. Bacalah Jâmi’ At-Tirmidzy pada bab “Mâ Jâ’a fî Qiyâm Syahr Ramadhân” hadits no. 805.
[4]
Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 1147, 2013, 3569, Muslim no. 738, Abu
Dâud no. 1341, At-Tirmidzy no. 439, dan An-Nasâ`iy 3/239.
[5] Diriwayatkan oleh Muslim no. 736, Abu Dâud no. 1336, An-Nasâ`iy 2/30, 65, 3/249, dan Ibnu Mâjah no. 1358.
[6] Diriwayatkan oleh Muslim no. 764, dan riwayat Imam Al-Bukhâry semakna dengan riwayat tersebut.
[7] Diriwayatkan oleh Muslim no. 765, Abu Dâud no. 1366, dan Ibnu Mâjah no. 1362.
[8]
Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 472, 473, 990, 993, 995, 1137, Muslim
no. 749, Abu Dâud no. 1326, At-Tirmidzy no. 437, An-Nasâ`iy 3/227-228,
233, dan Ibnu Mâjah no. 1318-1320.
[9] Tentang pembahasan jumlah rakaat shalat Tarawih di atas, silakan membaca Al-Istidzkâr 2/68-70, 95, Al-Majmu’ 3/527, Tharhut Tatsrîb 3/97-98, Fathul Bâry 4/252, Al-Mughny 2/601-604, Al-Inshâf 2/180, Nailul Authâr 3/57, Fatâwâ Al-Lajnah Ad-Dâ`imah 7/194-198, Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/65-77, Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ`il Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn 14/187-189, dan Taudhîh Al-Ahkâm 2/410-415 (cet. kelima).
Sumber: http://dzulqarnain.net/jumlah-rakaat-shalat-tarawih.html
Sumber: http://dzulqarnain.net/jumlah-rakaat-shalat-tarawih.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar