Kata “ Wali Allah “ atau Waliyullah adalah sebuah kata yang
tidak asing ditengah –tengah kita umat islam. Kebanyakan kita mengetahui dari
firman Allah:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yunus: 62 )
Tapi sebenarnya siapakah wali Allah itu?
Orang – orang berbeda
persepsi/pendapat tentang wali Allah, Banyak dari mereka menganggap bahwa wali
Allah adalah mereka yang memiliki kemampuan diluar batas nalar manusia, seperti
bisa terbang, bisa berjalan diatas air, kalau sholat jum’at di Makkah misalnya,
atau mereka yang agak nyleneh dalam ucapan dan perbuatan, sepanjang ia
menampakkan diri sebagai tokoh agama.
Namun, sebaik – baik pentafsir al-Qur’an adalah al-Qur’an
itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa kata Wali Allah, tersebut dalam al
–Qur’an, maka kita cari penjelasan siapa wali Allah juga dari al –Qur’an. Kalau
kita lihat pada kelanjutan ayat diatas Allah dengan sangat jelas menerangkan
tentang siapa wali – walinya
الَّذِينَ
آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“(Yaitu) orang-orang beriman dan selalu bertaqwa.”
(Yusnus 63 )
Imam Ibnu Katsir rohimahulloh menafsirkan: Allah Ta’ala
menginformasikan bahwa para wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan
bertaqwa. Siapa saja yang bertaqwa maka dia adalah wali Allah (Tafsir Ibnu
Katsir, 2/384).
Dari penjelasan Imam Ibu Katsir di atas, terlihat bahwa cakupan
definisi wali ini begitu luas, mencakup setiap orang yang memiliki keimanan dan
ketaqwaan. Maka wali Allah yang paling utama adalah para nabi. Para nabi yang
paling utama adalah para rasul. Para Rasul yang paling utama adalah ‘ulul azmi.
Sedang ‘ulul azmi yang paling utama adalah Nabi kita Muhammad ShallAllahu
‘alaihi wa sallam.
Maka sangat salah suatu pemahaman yang berkembang di
masyarakat kita saat ini, bahwa wali itu hanya monopoli orang-orang tertentu,
semisal ulama, kyai, apalagi hanya terbatas pada orang yang memiliki ilmu yang
aneh-aneh dan sampai pada orang yang meninggalkan kewajiban syari’at yang
dibebankan padanya.
Sikap yang benar terhadap para Wali Allah
Setiap muslim wajib untuk memuliakan wali – wali Allah,
mencintai mereka dan menolong mereka, serta meneladani mereka. Hal ini tentu
saja dengan membuang jauh – jauh sikap ta’ashub/fanatik terhadap mereka, Karena
sebagai manusia biasa mereka bisa salah, Sehingga tidak dibenarkan sikap
membenarkan semua ucapan dan perbuatan mereka. Semua harus dicocokkan dengan al
–Qur’an dan al - Hadits
Sikap yang salah
terhadap para Wali
- Memusuhi mereka
Memusuhi para Wali Allah, dalam artian memusuhi orang –
orang yang beriman dan senantiasa berusaha bertaqwa adalah sebuah kesalahan dan
dosa besar. Sungguh Allah telah mengumumkan peperangan terhadap siapapun yang
memusuhi para Walinya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits qudsi, Allah
berfirman:
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ
“Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku umumkan perang
kepadanya”. (HR. Al-Bukhari no. 6502)
Dari sini maka hendaknya kita berhati – hati untuk tidak
memusuhi para wali Allah, yaitu kaum mu’minin yang berusaha untuk senantiasa
bertaqwa atau dalam bahasa ringkas disebut sebagai orang – orang yang shalih
yang berusaha mengamalkan agama ini secara total ( kaffah )
- Menjadikan mereka wasithoh
( perantara ) dalam berdoa
Menjadikan para Nabi, Wali dan orang – orang shalih sebagai
perantara dalam berdoa’ merupakan kesyrikan, Kesyirikan kamum musyrikin yang
diperangi oleh Rasulullah, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an Surat Az
Zumar ayat 3 dan Surat Yunus ayat 18.
Yang dimaksudkan menjadikan orang shalih sebagai perantara
berdo’a adalah, Ia memohon kepada orang shalih yang sudah meninggal dengan
sebuah permohonan dengan niat agar orang shalih ini yang menyampaikan doanya
kepada Allah, Jadi ia memohonnya kepada orang shalih yang sudah meninggal ini,
bukan kepada Allah.
Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
Disana ada
wasithoh ( perantara ), barang siapa mengingkari maka sungguh telah keluar
dari islam, Dan disana ada wasithoh, barang siapa
menetapkannya/mengakuinya maka sungguh ia telah keluar dari islam. ( I’anatul
Mustafidh Bisyarhi Kitab Tauhid karya Syaikh DR Shalih Al Fauzan hal 327 )
Perantara yang apabila diingkari menjadikan seseorang
keluar dari islam adalah para rosul. Para Rasul merupakan perantara antara
Allah dengan para hamba dalam hal menyampaikan perintah – perintah Nya, risalah
dan wahyu. Siapa mengingkari para Rasul maka ia bukan seorang mu’min atau telah
keluar dari islam.
Adapun perantara yang apabila ditetapkan/diakui
menjadikannya keluar dari islam adalah perantara – perantara yang dijadikan antara
seorang hamba dengan Allah dalam berdoa’, Ia berdo’a kepada para perantara itu
dengan niatan dan tujuan agar si perantara ini yang menyampaikan doa’ dan
hajatnya kepada Allah. Sama saja apakah perantara tersebut para Nabi, Wali,
orang – orang shalih ataupun selain mereka.
- Membangun bangunan
diatas kuburan mereka
Termasuk kesalahan dalam menyikapi para wali adalah dengan
membangun bangunan diatas kuburan – kuburan mereka.
Hal ini dikarenakan Rasulullah telah melarang hal tersebut,
sebagaimana dalam sebuah hadits.
Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang
kubur untuk dikapur/diplester, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya”. ( HR
Muslim no. 970 )
Dari hadits ini Imam As Shon’ani dalam kitab Subulussalam Syarah
( penjelasan ) kitab Bulughul Maram ( 2/320 ) dan Imam Asy Syaukani dalam kitab
Nailul Author ( 5/169 ) menegaskan akan
HARAM nya mengapur/memplester, menduduki dan membangun bangunan diatas
kuburan. Ditegaskan pula bahwa keharaman tersebut berlaku secara umum, baik
yang dikubur itu orang – orang yang mulia/terhormat, seperti ulama dan umara’
ataupun orang biasa. Baik tanah kuburan tersebut tanah pemakaman umum ataupun
pribadi.
Bahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
untuk meratakan kuburan – kuburan yang ditinggikan diatas ukuran yang
diperbolehkan ( yaitu sejengkal ).
Dari Abul-Hayaj Al-Asadi, ia berkata : ‘Ali bin Abi Thalib
pernah berkata kepadaku : “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku ? Hendaklah engkau tidak
meninggalkan patung ( makhluk bernyawa ) kecuali engkau hancurkan dan jangan
pula kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 969, Abu Dawud no. 3218, At-Tirmidzi no. 1049,
An-Nasa’i no. 2031, dan yang lainnya].
Imam Asy Syafi’I rahimahullah berkata :
“Dan aku senang jika
kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen, karena hal itu menyerupai
perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah tempat untuk salah satu di
antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah melihat kubur orang-orang Muhaajiriin
dan Anshaar dikapur..... Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan
bangunan yang dibangunan di atas kubur di Makkah, dan aku tidak melihat para
fuqahaa’ ( ahli fiqih ) mencela perbuatan tersebut” [Al-Umm, 1/316]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar