Minggu, 12 Januari 2014

Wali Allah, Siapakah mereka? Oleh: Ustadz Fadhel Ahmad

Kata “ Wali Allah “ atau Waliyullah adalah sebuah kata yang tidak asing ditengah –tengah kita umat islam. Kebanyakan kita mengetahui dari firman Allah:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yunus: 62 )
Tapi sebenarnya siapakah wali Allah itu?
Orang – orang  berbeda persepsi/pendapat tentang wali Allah, Banyak dari mereka menganggap bahwa wali Allah adalah mereka yang memiliki kemampuan diluar batas nalar manusia, seperti bisa terbang, bisa berjalan diatas air, kalau sholat jum’at di Makkah misalnya, atau mereka yang agak nyleneh dalam ucapan dan perbuatan, sepanjang ia menampakkan diri sebagai tokoh agama.
Namun, sebaik – baik pentafsir al-Qur’an adalah al-Qur’an itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa kata Wali Allah, tersebut dalam al –Qur’an, maka kita cari penjelasan siapa wali Allah juga dari al –Qur’an. Kalau kita lihat pada kelanjutan ayat diatas Allah dengan sangat jelas menerangkan tentang siapa wali – walinya

 الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“(Yaitu) orang-orang beriman dan selalu bertaqwa.” (Yusnus 63 )
Imam Ibnu Katsir rohimahulloh menafsirkan: Allah Ta’ala menginformasikan bahwa para wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Siapa saja yang bertaqwa maka dia adalah wali Allah (Tafsir Ibnu Katsir, 2/384).
Dari penjelasan Imam Ibu Katsir di atas, terlihat bahwa cakupan definisi wali ini begitu luas, mencakup setiap orang yang memiliki keimanan dan ketaqwaan. Maka wali Allah yang paling utama adalah para nabi. Para nabi yang paling utama adalah para rasul. Para Rasul yang paling utama adalah ‘ulul azmi. Sedang ‘ulul azmi yang paling utama adalah Nabi kita Muhammad ShallAllahu ‘alaihi wa sallam.
Maka sangat salah suatu pemahaman yang berkembang di masyarakat kita saat ini, bahwa wali itu hanya monopoli orang-orang tertentu, semisal ulama, kyai, apalagi hanya terbatas pada orang yang memiliki ilmu yang aneh-aneh dan sampai pada orang yang meninggalkan kewajiban syari’at yang dibebankan padanya.
Sikap yang benar terhadap para Wali Allah
Setiap muslim wajib untuk memuliakan wali – wali Allah, mencintai mereka dan menolong mereka, serta meneladani mereka. Hal ini tentu saja dengan membuang jauh – jauh sikap ta’ashub/fanatik terhadap mereka, Karena sebagai manusia biasa mereka bisa salah, Sehingga tidak dibenarkan sikap membenarkan semua ucapan dan perbuatan mereka. Semua harus dicocokkan dengan al –Qur’an dan al - Hadits
 Sikap yang salah terhadap para Wali
  1. Memusuhi mereka
Memusuhi para Wali Allah, dalam artian memusuhi orang – orang yang beriman dan senantiasa berusaha bertaqwa adalah sebuah kesalahan dan dosa besar. Sungguh Allah telah mengumumkan peperangan terhadap siapapun yang memusuhi para Walinya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman:
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ
“Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku umumkan perang kepadanya”. (HR. Al-Bukhari no. 6502)
Dari sini maka hendaknya kita berhati – hati untuk tidak memusuhi para wali Allah, yaitu kaum mu’minin yang berusaha untuk senantiasa bertaqwa atau dalam bahasa ringkas disebut sebagai orang – orang yang shalih yang berusaha mengamalkan agama ini secara total ( kaffah )
  1. Menjadikan mereka wasithoh ( perantara ) dalam berdoa
Menjadikan para Nabi, Wali dan orang – orang shalih sebagai perantara dalam berdoa’ merupakan kesyrikan, Kesyirikan kamum musyrikin yang diperangi oleh Rasulullah, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an Surat Az Zumar ayat 3 dan Surat Yunus ayat 18.
Yang dimaksudkan menjadikan orang shalih sebagai perantara berdo’a adalah, Ia memohon kepada orang shalih yang sudah meninggal dengan sebuah permohonan dengan niat agar orang shalih ini yang menyampaikan doanya kepada Allah, Jadi ia memohonnya kepada orang shalih yang sudah meninggal ini, bukan kepada Allah.
Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
 Disana ada wasithoh ( perantara ), barang siapa mengingkari maka sungguh telah keluar dari islam, Dan disana ada wasithoh, barang siapa menetapkannya/mengakuinya maka sungguh ia telah keluar dari islam. ( I’anatul Mustafidh Bisyarhi Kitab Tauhid karya Syaikh DR Shalih Al Fauzan hal 327 )
Perantara yang apabila diingkari menjadikan seseorang keluar dari islam adalah para rosul. Para Rasul merupakan perantara antara Allah dengan para hamba dalam hal menyampaikan perintah – perintah Nya, risalah dan wahyu. Siapa mengingkari para Rasul maka ia bukan seorang mu’min atau telah keluar dari islam.
Adapun perantara yang apabila ditetapkan/diakui menjadikannya keluar dari islam adalah perantara – perantara yang dijadikan antara seorang hamba dengan Allah dalam berdoa’, Ia berdo’a kepada para perantara itu dengan niatan dan tujuan agar si perantara ini yang menyampaikan doa’ dan hajatnya kepada Allah. Sama saja apakah perantara tersebut para Nabi, Wali, orang – orang shalih ataupun selain mereka.
  1. Membangun bangunan diatas kuburan mereka
Termasuk kesalahan dalam menyikapi para wali adalah dengan membangun bangunan diatas kuburan – kuburan mereka.
Hal ini dikarenakan Rasulullah telah melarang hal tersebut, sebagaimana dalam sebuah hadits.
Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur/diplester, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya”. ( HR Muslim no. 970 )
Dari hadits ini Imam As Shon’ani dalam kitab Subulussalam Syarah ( penjelasan ) kitab Bulughul Maram ( 2/320 ) dan Imam Asy Syaukani dalam kitab Nailul Author  ( 5/169 ) menegaskan akan HARAM nya mengapur/memplester, menduduki dan membangun bangunan diatas kuburan. Ditegaskan pula bahwa keharaman tersebut berlaku secara umum, baik yang dikubur itu orang – orang yang mulia/terhormat, seperti ulama dan umara’ ataupun orang biasa. Baik tanah kuburan tersebut tanah pemakaman umum ataupun pribadi.
Bahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk meratakan kuburan – kuburan yang ditinggikan diatas ukuran yang diperbolehkan ( yaitu sejengkal ).
Dari Abul-Hayaj Al-Asadi, ia berkata : ‘Ali bin Abi Thalib pernah berkata kepadaku : “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku ? Hendaklah engkau tidak meninggalkan patung ( makhluk bernyawa ) kecuali engkau hancurkan dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 969, Abu Dawud no. 3218, At-Tirmidzi no. 1049, An-Nasa’i no. 2031, dan yang lainnya].
Imam Asy Syafi’I rahimahullah berkata :
 “Dan aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen, karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah melihat kubur orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar dikapur..... Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di Makkah, dan aku tidak melihat para fuqahaa’ ( ahli fiqih ) mencela perbuatan tersebut” [Al-Umm, 1/316]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar