Diantara kaidah penting dalam
ajaran Islam yang mulia ini adalah, menyerahkan urusan yang berhubungan dengan
kemaslahatan umum, seperti masalah politik dan kemasyarakatan, kepada para
ulama, yaitu orang-orang yang memiliki ilmu yang mendalam tentang agama. Adapun
orang-orang bodoh maka tidak boleh berbicara. Jika mereka berani berbicara dan
berkomentar maka akan muncul kerusakan-kerusakan dalam masyarakat.
Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam telah memperingatkan,
“Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu
dengan mengangkatnya dari hati para hamba, akan tetapi Allah mengangkat ilmu
dengan mewafatkan para ulama, sampai ketika Allah tidak menyisakan seorang
‘alim pun maka manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin-pemimpin
mereka. Maka orang-orang bodoh tersebut ditanya, lalu mereka berfatwa tanpa
ilmu, mereka pun sesat dan menyesatkan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim
dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyalllahu’anhuma]
Juga sabda Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam,
سيأتي
على الناس سنوات خداعات يصدق فيها الكاذب و يكذب فيها الصادق و يؤتمن فيها الخائن
و يخون فيها الأمين و ينطق فيها الرويبضة قيل : و ما الرويبضة
؟ قال : الرجل التافه يتكلم في أمر العامة
“Akan datang kepada manusia
tahun-tahun yang penuh tipu daya, dimana pendusta dipercaya dan orang jujur
didustakan, pengkhianat diberi amanah dan orang yang amanah dikhianati, dan
berbicara di zaman itu para Ruwaibidhoh.” Ditanyakan, siapakah Ruwaibidhoh
itu? Beliau bersabda, “Orang bodoh yang berbicara dalam masalah umum.” [HR.
Al-Hakim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Al-Jami’, no. 3650]
Demikianlah yang terjadi
beberapa pekan terakhir ini dalam menyikapi pemilihan pemimpin kafir untuk
salah satu propinsi. Sampai seorang oknum MUI angkat bicara,
“Jika memang sudah teruji adil,
maka boleh memilih pemimpin yang nonmuslim.”
Seorang mantan ketua umum
Muhammadiyah juga tidak mempermasalahkan isu SARA dalam pemilihan pemimpin,
dengan alasan si pemimpin tersebut tidak akan berlaku diskriminatif,
“Pemimpin di negeri ini baik di
tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten-kota, provinsi hingga presiden tidak
akan berani melakukan diskriminasi.”
Tak ketinggalan, pemimpin sebuah
partai “Islam” pun berkomentar,
“Isu SARA jelas tidak
berproduktif.”
Dan partai tersebut bahkan telah
membuktikan beberapa tahun lalu mendukung calon walikota nonmuslim, walaupun
tidak berhasil memenangkan pemilihan.
Sebagian orang pun beralasan
asal tidak korupsi dan alasan-alasan lainnya yang berhubungan dengan masalah
“perut” masyarakat yang harus dipenuhi maka tak masalah meskipun pemimpinnya
nonmuslim. Alasan lain kata mereka, isu SARA tidak mencerdaskan dan hanya
mengkotak-kotakan, maka yang mereka inginkan adalah tidak perlu membedakan
pemimpin muslim maupun nonmuslim.
Jadi, masih pantaskah
memilih pemimpin karena agamanya?
Jawabannya tergantung dari sisi
mana kita melihat, yaitu dari dua sisi:
Pertama: Dari sisi demokrasi, benar bahwa demokrasi tidak mengharamkan
pemimpin nonmuslim, asal dipilih oleh rakyat maka seorang pencuri, perampok,
pembunuh, pezina dan orang kafir sekalipun, ‘layak’ dijadikan pemimpin.
Demokrasi itu sendiri adalah ajaran impor dari negeri-negeri kafir yang di
negeri mereka sendiri pemimpin muslim hampir mustahil terpilih. Dan
membawa-bawa Islam dalam dunia demokrasi dianggap tidak produktif, tidak
mencerdaskan dan hanya mengkotak-kotakan, kecuali dengan memaksakan Islam harus
tunduk di bawah demokrasi.
Kedua: Dari sisi ajaran Islam, ajaran yang turun dari sang Pencipta,
Pemberi rizki, Yang Menghidupkan dan Mematikan manusia, yang lebih mengetahui
apa yang terbaik untuk mereka, maka hukum memilih pemimpin nonmuslim
(baca: kafir) adalah haram berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta
KESEPAKATAN seluruh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi
dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin
bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang lalim.” [Al-Maidah: 51]
Ulama besar Syafi’iyah,
Al-Imam Al-Mufassir Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah
menjelaskan makna ayat ini,
ينهى تعالى عباده المؤمنين عن موالاة اليهود والنصارى، الذين هم أعداء
الإسلام وأهله، قاتلهم الله، ثم أخبر أن بعضهم أولياء بعض، ثم تهدد وتوعد من
يتعاطى ذلك فقال: { وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ
اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ }
“Allah ta’ala melarang
hamba-hamba-Nya yang beriman dari bersikap loyal kepada Yahudi dan Nasrani,
karena mereka itu adalah musuh-musuh Islam dan kaum muslimin. Kemudian Allah
ta’ala mengabarkan bahwa sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang
lain. Kemudian Allah ta’ala mengingatkan dengan keras dan mengancam siapa yang
loyal kepada mereka dengan firman-Nya, ‘Barangsiapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang lalim’.” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/132]
Juga firman Allah ta’ala,
وَلَنْ
يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا
“Dan Allah sekali-kali tidak
memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang
beriman.” [An-Nisa: 141]
Ulama besar Syafi’iyah
yang lain, Al-Imam Al-‘Allamah An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
قال
القاضي عياض أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر وعلى أنه لو طرأ عليه
الكفر انعزل
“Berkata Al-Qodhi ‘Iyadh,
Ulama telah SEPAKAT (ijma’)
bahwa kepemimpinan tidak sah bagi seorang kafir, dan jika seorang
pemimpin muslim menjadi kafir maka harus diselengserkan.” [Al-Minhaj Syarah
Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 12/229]
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata,
وأن
يكون مسلما لأن الله تعالى يقول ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا
والخلافة أعظم السبيل ولأمره تعالى بإصغار أهل الكتاب وأخذهم بأداء الجزية وقتل من
لم يكن من أهل الكتاب حتى يسلموا
“Syarat pemimpin haruslah
seorang muslim, karena Allah ta’ala berfirman, ‘Dan Allah sekali-kali tidak
memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang
beriman.’ [An-Nisa: 141] Dan kepemimpinan adalah
sebesar-besarnya jalan (untuk menguasai kaum muslimin). Dan (kepemimpinan kaum
muslimin bagi orang kafir tidak boleh) karena Allah ta’ala memerintahkan untuk
menghinakan Ahlul Kitab, memerintahkan mereka membayar jizyah dan memerangi
orang kafir selain Ahlul Kitab sampai mereka masuk Islam.” [Al-Fishol
fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, 4/128]
Demikianlah perbedaan dua sisi
pandang dalam menyikapi pemilihan pemimpin nonmuslim, yang pertama adalah
produk manusia yang hanya berdasarkan hawa nafsu dan kemampuan akal yang sangat
terbatas, sedang yang kedua berasal dari sang Pencipta, Yang Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana. Orang yang berakal tentu mengerti dari sisi mana sebaiknya
dia memandang.
Dan sang Pencipta, Allah jalla
wa ‘ala menegaskan,
الْحَقُّ
مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Kebenaran itu adalah dari
Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” [Al-Baqorah:
147]
Allah ta’ala juga mengingatkan,
وَلَوِ
اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ
بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ ٧١
“Andaikan kebenaran itu menuruti
hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di
dalamnya.” [Al-Mu'minun: 71]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar