Kamis, 03 Januari 2013

Perbedaan Ulama Ahli Hadits Dalam Jarh wa Ta’dil adalah Ijtihadiyyah

Perbedaan Ulama Ahli Hadits Dalam Jarh wa Ta’dil
Uraian berikut ini mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua agar paham bahwa perkara jarh wa ta’dil adalah perkara ijtihadiyah, jangan seorang gampang melecehkan manusia hanya karena perkara
ini, dan sebaiknya mereka hati-hati menjaga lisan-lisan mereka, kecuali ketika para imam sepakat mencela seorang figur maka umat pun harus merujuk kepada kesepakatan mereka.

----------------------------------------------------

Kisah Al-Hafizh Adz-Dzuhali dan Imam Bukhori

Berkata Al-Hafidz Adz-Dzahabi dalam Tadzkirah al-Hufadz (2/87), tentang Muhammad ibn Yahya Adz-Dzuhali :

الذهلي الإمام شيخ الإسلام حافظ نيسابور أبو عبد الله محمد بن يحيى بن عبد الله بن خالد بن فارس النيسابوري

“adz-Dzuhali adalah al-Imam Syaikhul Islam, Hafidz kota Nisabur, Abu Abdillah Muhammad ibn Yahya ibn Abdullah ibn Khalid ibn Faris An-Nisaburi”.

Beliau menjelaskan:

مشيخة العلم بخراسان مع الثقة والصيانة والدين ومتابعة السنن

“Kepemimpinan ilmu di wilayah Khurasan berada di tangannya, ia terpercaya (tsiqah), berhati-hati dalam agama dan konsisten menjalankan sunnah… “.

Lalu beliau mengutip perkataan ahli hadits yang lain yang sepakat akan kredibilitas Adz-Dzuhali:

وقال أبو حاتم: هو إمام أهل زمانه. وقال أبو بكر بن زياد: كان أمير المؤمنين في الحديث

Abu Hatim berkata: “Beliau adalah imam ahli zamannya.’ Abu Bakar ibn Ziyad berkata: “Beliau adalah Amirul Mukminin dalam disiplin ilmu hadis.”

Dan silahkan lihat biografinya dalam Tahdzib Al-Kamal (3/1286), Tahdzib At-Tahdzib (9/511), Taqrib At-Tahdzib (2/217), Jarh wa Ta’dil (8/561), Tarikh Baghdad (3/415), Siyaru A’lam an-Nubala (12/273) dan lainnya.

Ketahuilah dahulu ia adalah guru Imam Bukhari, dan pernah berkata tentang imam Bukhori ketika Bukhori datang ke Nisabur:

اذهبوا إلى هذا الرجل العالم الصالح فاسمعوا منه

‘Pergilah kepada orang alim yang shalih itu dan dengarlah hadis darinya!’ [Tarikh Baghdad (2/30)].

Tetapi kemudian fitnah menimpa Imam Bukhori dimana beliau dituduh mengatakan : “Ucapan/bacaanku ‘lafadz-lafadz’ Al-Qur’an itu makhluq”. Ucapan ini dianggap oleh beliau ucapan bid’ah yang wajib umat diperingatkan darinya. Adz-Dzuhali kemudian menghajr, mentahdzir imam Bukhori dan melarang para muridnya menghadiri majelisnya.

Al-Khatib Al-Baghdadi meriwayatkan dalam Tarikh Baghdad (2/31-32):

محمد بن يحيى يقول القران كلام الله غير مخلوق من جميع جهاته وحيث يتصرف فمن لزم هذا استغنى عن اللفظ وعما سواه من الكلام في القران ومن زعم ان القران مخلوق فقد كفر وخرج عن الإيمان وبانت منه امرأته يستتاب فان تاب والا ضربت عنقه وجعل ماله فيئا بين المسلمين ولم يدفن في مقابر المسلمين ومن وقف وقال لا أقول مخلوق أو غير مخلوق فقد ضاهى الكفر ومن زعم ان لفظى بالقران مخلوق فهذا مبتدع لا يجالس ولا يكلم ومن ذهب بعد مجلسنا هذا إلى محمد بن إسماعيل البخاري فاتهموه فإنه لا يحضر مجلسه الا من كان على مثل مذهبه
Muhammad ibn Yahya (Adz Dzuhali) berfatwa, “Al Qur’an adalah Kalamulah, ia bukan makhluq dari segala sisinya. Barangsiapa mengklaim bahwa Al Qur’an adalah makhluq, maka ia benar-benar telah kafir, keluar dari keimanan, istrinya harus dipisa
hkan darinya, ia harus diminta untuk bertaubat, jika bertaubat (maka diterima), jika tidak kepalanya harus dipenggal, dan hartanya harus dibagi di antara kaum Muslim sebagai harta fai’. Ia tidak boleh dikuburkan di perkuburan kaum Muslim. Barangsiapa bersikap waqf (diam) dan berkata, ‘Saya tidak mengatakan bahwa Al Qur’an makhluq atau bukan makhluq maka ia telah menyamai kekufuran. Barangsiapa berkata, ucapan/bacaanku lafadz-lafadz Al Qur’an itu makhluq, maka ia adalah seorang ahli bid’ah, tidak boleh diajak duduk dan diajak berbicara. Barangsiapa setelah mendengar keterangan kami di majlis ini, lalu mendatangi Muhammad ibn Ismail al-Bukhari maka curigai ia, sebab tidak hadir di majlisnya kecuali orang yang berpandangan seperti mazhab (pandangan)-nya”.

Maka ditinggalkanlah Imam Bukhori oleh orang-orang Nisabur, sebagai ketaatan kepada Al-Hafidz Adz- Adz-Dzuhali, lalu dia berkata, “Aku tidak mau tinggal senegeri dengan dia (Bukhori)”, maka Bukhori pun kemudian pergi meninggalkan negeri itu.

Akan tetapi, apakah jarh dari guru Bukhori itu diterima? Dan bandingkan dengan pujian dari para ulama dan ijma kaum muslimin menerima Bukhari, bahkan kitab Shahihnya dijadikan rujukan setelah Kitabullah. Bukankah itu pujian yang tidak tertandingi oleh orang-orang di zamannya dan setelahnya?.

Lalu apakah kita juga harus balik menghajr Adz-Dzuhali karena kesalahannya menghajr Imam Bukhori seperti pengamalan Manhaj Jenghis Khan??. Atau kenapa para ulama menyelisihi Manhaj Jenghis Khan dengan masih saja memuji adz-Dzuhali yang jelas-jelas menghajr Amirulmukminin fi hadits semacam Imam Bukhori?.
Semoga bermanfaat bagi benar-benar mencari kebenaran.......


Tulisan ini saya ambil dari status saudara Luthfi Al Andunisy Jazahullah Khoiron

Tidak ada komentar:

Posting Komentar