Kewajiban terkait dengan peristiwa yang menimpa saudara-saudara
kita kaum muslimin di Jalur Ghaza Palestina baru-baru ini adalah sebagai
berikut:
Pertama:
Merasakan besarnya nilai kehormatan darah (jiwa) seorang muslim.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Majah (no. 3932) dari
sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar c berkata: Saya melihat Rasulullah n sedang
thawaf di Ka’bah seraya beliau berkata (kepada Ka’bah):
مَا أَطْيَبَكِ وَأَطْيَبَ رِيحَكِ، مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ
حُرْمَتَكِ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَحُرْمَةُ الْمُؤْمِنِ
أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ حُرْمَةً مِنْكِ، مَالِهِ وَدَمِهِ
“Betapa bagusnya engkau (wahai Ka’bah), betapa wangi aromamu,
betapa besar nilai dan kehormatanmu. Namun, demi Dzat yang jiwa Muhammad
berada di tangan-Nya, sungguh kehormatan seorang mukmin jauh lebih
besar di sisi Allah dibanding engkau, baik kehormatan harta maupun darah
(jiwa)nya.”2
Dalam riwayat At-Tirmidzi (no. 2032) dengan lafadz: Dari sahabat
‘Abdullah bin ‘Umar c, bahwa Rasulullah n naik ke atas mimbar kemudian
beliau berseru dengan suara yang sangat keras seraya berkata:
يَا مَعْشَرَ مَنْ قَدْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ
الْإِيمَانُ إِلَى قَلْبِهِ! لاَ تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ! وَلاَ
تُعَيِّرُوهُمْ! وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ! فَإِنَّهُ مَنْ
تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ،
وَمَنْ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِى جَوْفِ رَحْلِهِ
“Wahai segenap orang yang berislam dengan ucapan lisannya namun
keimanannya tidak menyentuh qalbunya, janganlah kalian mengganggu kaum
muslimin, janganlah kalian mencela mereka, dan janganlah kalian
mencari-cari aib mereka. Karena barangsiapa yang mencari-cari aib
saudaranya muslim, niscaya Allah akan terus memeriksa aibnya.
Barangsiapa yang diperiksa oleh Allah segala aibnya, niscaya Allah akan
membongkarnya walaupun dia (bersembunyi) di tengah rumahnya.”
Suatu ketika Ibnu ‘Umar c melihat kepada Ka’bah dengan mengatakan
(kepada Ka’bah): “Betapa besar kedudukanmu dan betapa besar
kehormatanmu, namun seorang mukmin lebih besar kehormatannya di sisi
Allah l dibanding kamu.”
Al-Imam At-Tirmidzi t berkata tentang kedudukan hadits tersebut:
“Hadits yang hasan gharib.” Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t
dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi (no. 2032).
Seorang muslim, jika melihat darah kaum muslimin ditumpahkan,
jiwanya dibunuh, atau hati kaum muslimin diteror, maka tidak diragukan
lagi pasti dia akan menjadikan ini sebagai perkara besar, karena
terhormatnya darah kaum muslimin dan besarnya hak mereka.
Bagaimana menurutmu, kalau seandainya seorang muslim melihat ada
orang yang hendak menghancurkan Ka’bah, ingin merobohkan dan
mempermainkannya, maka betapa ia menjadikan hal ini sebagai perkara
besar?!! Sementara Rasulullah n telah menegaskan: “Demi Dzat yang jiwa
Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh kehormatan seorang mukmin jauh
lebih besar di sisi Allah dibanding engkau (wahai Ka’bah), baik
kehormatan harta maupun darah (jiwa)nya.”
Maka perkara pertama yang wajib atas kita adalah merasakan betapa
besar nilai kehormatan darah kaum mukminin yang bersih, yang baik, dan
sebagai pengikut Sunnah Rasulullah n, yang senantiasa berjalan di atas
bimbingan Islam. Kita katakan, bahwa darah (kaum mukminin) tersebut
memiliki kehormatan yang besar dalam hati kita.
Kita tidak ridha –demi Allah l– dengan ditumpahkannya darah seorang
mukmin pun (apalagi lebih), walaupun setetes darah saja, tanpa alasan
yang haq (dibenarkan oleh syariat). Maka bagaimana dengan kebengisan dan
tindakan yang dilakukan oleh para ekstremis, orang-orang yang zalim,
para penjajah negeri yang suci, bumi yang suci dan sekitarnya??!
Innalillah wa inna ilaihi raji’un!!
Maka tidak boleh bagi seorang pun untuk tidak peduli dengan darah
(kaum mukminin) tersebut, terkait dengan hak dan kehormatan (darah
mukminin), kehormatan negeri tersebut, dan kehormatan setiap muslim di
seluruh dunia, dari kezaliman tangan orang kafir yang penuh dosa,
durhaka, dan penuh kezaliman, seperti peristiwa (yang terjadi sekarang
di Palestina) ataupun kezaliman yang lebih ringan dari itu.
Kedua:
Wajib atas kita membela saudara-saudara kita. Pembelaan kita
tersebut harus dilakukan dengan cara yang syar’i. Cara yang syar’i itu
tersimpulkan sebagai berikut:
Kita membela mereka dengan cara berdoa untuk mereka. Kita doakan
mereka pada waktu sepertiga malam terakhir. Kita doakan mereka dalam
sujud-sujud (kita). Bahkan kita doakan dalam qunut (nazilah) yang
dilakukan pada waktu shalat jika memang diizinkan/diperintahkan oleh
waliyyul amr (pemerintah).
Jangan heran dengan pernyataan saya “dalam qunut nazilah yang
dilakukan dalam shalat jika memang diizinkan/diperintahkan oleh waliyyul
amr.” Karena umat Islam telah melalui berbagai musibah
yang dahsyat pada zaman sahabat Nabi n, namun tidak ada riwayat yang
menyebutkan bahwa para sahabat melakukan qunut nazilah selama mereka
tidak diperintah oleh pemimpin (kaum muslimin).
Oleh karena itu saya katakan: Kita membantu saudara-saudara kita
dengan doa pada waktu-waktu sepertiga malam terakhir. Kita bantu
saudara-saudara kita dengan doa dalam sujud. Kita membantu
saudara-saudara kita dengan doa saat kita berdzikir dan menghadap Allah
l, agar Allah l menolong kaum muslimin yang lemah.
Semoga Allah l membebaskan kaum muslimin dari cengkraman
tangan-tangan zalim, mengokohkan mereka (kaum muslimin) dengan ucapan
(aqidah) yang haq, serta menolong mereka terhadap musuh kita, musuh
mereka, musuh Allah l, dan musuh kaum mukminin.
Ketiga dan Keempat:
Terkait dengan sikap kita terhadap peristiwa Ghaza:
Kita harus waspada terhadap orang-orang yang memancing di air
keruh, menyeru dengan seruan-seruan yang penuh emosional atau seruan
yang ditegakkan di atas perasaan (jauh dari bimbingan ilmu dan sikap
ilmiah), yang justru membuat kita terjatuh pada masalah yang makin
besar.
Kalian tahu bahwa Rasulullah n berada di Makkah, berada dalam
periode Makkah, ketika itu beliau mengetahui bahwa orang-orang kafir
terus menimpakan siksaan yang keras terhadap kaum muslimin.
Sampai-sampai kaum muslimin ketika itu meminta kepada Rasulullah n agar
mengizinkan mereka berperang. Ternyata Rasululllah n hanya mengizinkan
sebagian mereka untuk berhijrah (meninggalkan tanah suci Makkah menuju
ke negeri Habasyah). Namun sebagian lainnya (tidak beliau izinkan)
sehingga mereka terus minta izin dari Rasulullah n untuk berperang dan
berjihad.
Dari sahabat Khabbab bin Al-Arat z:
شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اللهِ n وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً لَهُ
فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ، قُلْنَا لَهُ: أَلاَ تَسْتَنْصِرُ لَنَا، أَلاَ
تَدْعُو اللهَ لَنَا؟ قَالَ: كَانَ الرَّجُلُ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ
لَهُ فِي الْأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيهِ فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ
عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَتَيْنِ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ
دِينِهِ، وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ
عَظْمٍ أَوْ عَصَبٍ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، وَاللهِ
لَيُتِمَّنَّ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ
إِلَى حَضْرَمَوْتَ لاَ يَخَافُ إِلاَّ اللهَ أَوْ الذِّئْبَ عَلَى
غَنَمِهِ، وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ
Kami mengadu kepada Rasulullah n ketika beliau sedang berbantalkan
burdahnya di bawah Ka’bah –di mana saat itu kami telah mendapatkan
siksaan dari kaum musyrikin–. Kami berkata kepada beliau: “Wahai
Rasulullah, mintakanlah pertolongan (dari Allah) untuk kami. Berdoalah
(wahai Rasulullah) kepada Allah untuk kami.”
Maka Rasulullah3 n berkata: “Dulu seseorang dari kalangan umat
sebelum kalian, ada yang digalikan lubang untuknya kemudian ia
dimasukkan ke lubang tersebut. Ada juga yang didatangkan padanya
gergaji, kemudian gergaji tersebut diletakkan di atas kepalanya lalu ia
digergaji sehingga badannya terbelah jadi dua. Namun perlakuan itu
tidaklah menyebabkan mereka berpaling dari agamanya. Ada juga yang
disisir dengan sisir besi, sehingga berpisahlah tulang dan dagingnya,
akan tetapi perlakuan itu pun tidaklah menyebabkan mereka berpaling dari
agamanya. Demi Allah, Allah akan menyempurnakan urusan ini (Islam),
hingga (akan ada) seorang pengendara yang berjalan menempuh perjalanan
dari Shan’a ke Hadramaut, dia tidak takut kecuali hanya kepada Allah
atau (dia hanya khawatir terhadap) serigala (yang akan menerkam)
kambingnya. Akan tetapi kalian tergesa-gesa.” Hadits ini diriwayatkan
oleh Al-Bukhari (no. 3612, 3852, 6941).
Rasulullah n terus berada dalam kondisi ini dalam periode Makkah
selama 13 tahun. Ketika beliau berada di Madinah, setelah berjalan
selama dua tahun turunlah ayat:
“Telah diizinkan bagi orang-orang yang diperangi karena mereka
telah dizalimi. Sesungguhnya Allah untuk menolong mereka adalah sangat
mampu.” (Al-Haj: 39)
Maka ini merupakan izin bagi mereka untuk berperang.
Kemudian setelah itu turun lagi ayat:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian,
(tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Baqarah: 190)
Kemudian setelah itu turun ayat:
“Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena
sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang)
janjinya, agar supaya mereka berhenti.” (At-Taubah: 12)
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada Hari Akhir.” (At-Taubah: 29)
Yakni bisa kita katakan, bahwa perintah langsung untuk berjihad
turun setelah 16 atau 17 tahun berlalunya awal risalah. Jika masa dakwah
Rasulullah adalah 23 tahun, berarti 17 tahun adalah perintah untuk
bersabar. Maka kenapa kita sekarang terburu-buru??!
Kalau ada yang mengatakan: “Ya akhi, mereka (Yahudi) telah
mengepung kita! Ya akhi, mereka (Yahudi) telah menzalimi kita di
Ghaza!!”
Maka jawabannya: “Bersabarlah. Janganlah kalian terburu-buru dan
janganlah kalian malah memperumit masalah. Janganlah kalian mengalihkan
permasalahan dari kewajiban bersabar dan menahan diri kepada sikap
perlawanan ditumpahkan padanya darah (kaum muslimin).”
Wahai saudara-saudaraku, hingga pada jam berangkatnya saya untuk
mengajar, jumlah korban terbunuh telah mencapai 537 orang dan korban
luka 2.500 orang. Apa ini?!!
Bagaimana kalian menganggap enteng perkara ini? Mana kesabaran
kalian? Mana sikap menahan diri kalian? Sebagaimana jihad itu ibadah,
maka sabar pun juga merupakan ibadah.
Bahkan tentang sabar ini Allah l berfirman:
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10)
Jadi sabar merupakan ibadah. Kita beribadah kepada Allah l dengan amalan kesabaran.
Kenapa kalian mengalihkan umat dari kondisi sabar menghadapi kepungan musuh kepada perlawanan dan penumpahan darah?
Kenapa kalian menjadikan warga yang aman, yang tidak memiliki
keahlian berperang, baik terkait dengan urusan-urusan maupun
strategi-strategi perang, sebagai sasaran serbuan, sasaran serangan, dan
sasaran pukulan tersebut, sementara kalian sendiri malah keluar menuju
Beirut dan Lebanon??! Kalian telah menimpakan bencana terhadap umat,
sementara kalian sendiri malah keluar (dari Palestina)??!
Oleh karena itu saya katakan: Janganlah seorang pun menggiring kita dengan perasaan atau emosi untuk membalik realita.
Kami mengatakan: Wajib atas kita untuk bersabar dan menahan diri
serta tidak terburu-buru. Sabar adalah ibadah. Rasulullah n telah
bersabar dengan kesabaran yang panjang atas kezaliman Quraisy dan atas
kezaliman orang-orang kafir. Kaum muslimin yang bersama beliau juga
bersabar. Apabila dakwah Rasulullah n selama 23 tahun, sementara 17
tahun di antaranya Rasulullah bersabar (terhadap kekejaman/ kebengisan
kaum musyrikin), maka kenapa kita melupakan sisi kesabaran?? Dua atau
tiga tahun mereka dikepung/diboikot! Kita bersabar dan jangan menimpakan
kepada umat musibah, pembunuhan, kesusahan, dan kesulitan tersebut.
Janganlah kita terburu beralih pada aksi militer!!
Wahai saudaraku, takutlah kepada Allah
l! Apabila Rasulullah n merasa iba kepada umatnya dalam masalah shalat,
padahal itu merupakan rukun Islam yang kedua, beliau mengatakan (kepada
Mu’adz): “Apakah engkau hendak menjadi tukang fitnah wahai Mu’adz?!!”
karena Mu’adz membaca surat terlalu panjang dalam shalat; Maka bagaimana
menurutmu terhadap orang-orang yang hanya karena (menuruti) perasaan
dan emosinya yang meluap menyeret umat kepada penumpahan darah dan aksi
perlawanan di mana mereka tidak memiliki kemampuan, bahkan meski
sepersepuluh saja mereka tidak memiliki kemampuan untuk melakukan
perlawanan?
Bukankah tepat kalau kita katakan (kepada mereka): Apakah kalian
hendak menimpakan musibah kepada umat dengan aksi perlawanan ini, yang
sebenarnya mereka sendiri tidak memiliki kemampuan untuk melakukan
perlawanan tersebut?!
Tidak ingatkah kita ketika kaum kafir dari kalangan Quraisy dan
Yahudi berupaya mencabik-cabik Rasulullah n dalam perang Ahzab, setelah
adanya pengepungan (terhadap Rasulullah n dan para sahabatnya) yang
berlangsung selama satu bulan, lalu sikap apa yang Rasulullah lakukan?
Beliau n mengutus (utusan) kepada kabilah Ghathafan seraya untuk
menyampaikan kepada mereka: “Saya akan memberikan kepada kalian separuh
dari hasil perkebunan kurma di Madinah agar mereka (kabilah Ghathafan)
tidak membantu orang-orang kafir dalam memerangi kami.”
Kemudian beliau mengutus kepada para pimpinan Anshar. Mereka pun
datang (kepada beliau). Rasulullah n menyampaikan kepada mereka bahwa
beliau telah mengambil kebijakan begini dan begini. Kemudian beliau
berkata: “Kalian telah melihat apa yang telah menimpa umat berupa
kegentingan dan kesulitan?”
Perhatikan, keletihan dan kesulitan yang menimpa umat bukanlah
perkara yang enteng bagi beliau n. Rasulullah n tidak rela memimpin
mereka untuk melakukan perlawanan militer dalam keadaan mereka tidak
memiliki daya dan kemampuan. Sehingga dengan itu beliau n menerima ide
dari sahabat Salman Al-Farisi untuk membuat parit (dalam rangka
menghalangi kekuatan/ serangan musuh).
Demikianlah (cara perjuangan Rasulullah l). Padahal beliau adalah
seorang Rasul n dan bersama beliau ada para sahabatnya. Apakah kita
lebih kuat imannya dibanding Rasulullah n?! Apakah kita lebih kuat
agamanya dibanding Rasulullah n??! Apakah kita lebih besar kecintaannya
terhadap Allah l dan agama-Nya dibanding Rasulullah n dan para
sahabatnya??!
Tentu tidak, wahai saudaraku.
Sekali lagi, Rasulullah n tidak memaksakan (kepada para sahabatnya)
untuk melakukan perlawanan (terhadap orang kafir). Bukan perkara yang
ringan bagi beliau ketika kesulitan yang menimpa umat sudah sedemikian
parah. Sehingga terpaksa beliau mengutus kepada kabilah Ghathafan untuk
memberikan kepada mereka separuh dari hasil perkebunan kurma Madinah
(agar mereka tidak membantu kaum kafir menyerang Rasulullah n dan para
sahabatnya). Namun Allah l kuatkan hati dua pimpinan Anshar. Keduanya
berkata: “Wahai Rasulullah, mereka tidak memakan kurma tersebut dari
kami pada masa jahiliah, maka apakah mereka akan memakannya dari kami pada masa Islam? Tidak wahai Rasulullah. Kami akan tetap bersabar.”
Mereka (Anshar) tidak mengatakan: “Kami akan tetap berperang.” Namun mereka berkata: “Kami akan bersabar.”
Tatkala mereka benar-benar bersabar, setia mengikuti Rasulullah n
dan ridha, datanglah kepada mereka pertolongan dari arah yang tidak
mereka sangka. Datanglah pertolongan dari sisi Allah l. Datanglah hujan
dan angin, dan seterusnya. Bacalah peristiwa ini dalam kitab-kitab sirah
(sejarah), pada (pembahasan) tentang peristiwa perang Ahzab.
Maka, permasalahan yang saya ingatkan adalah: Janganlah ada seorang
pun yang menyeret kalian hanya dengan perasaan dan emosinya, sehingga
dia akan membalik realita yang sebenarnya kepada kalian.
Aku mendengar sebagian orang mengatakan bahwa “Penyelesaian
permasalahan yang terjadi adalah dengan jihad dan seruan untuk
berjihad!”
Tentu saja saya tidak mengingkari jihad, jika yang dimaksud adalah
jihad yang syar’i. Sementara jihad yang syar’i memilliki syarat-syarat.
Syarat-syarat tersebut belum terpenuhi pada kita sekarang ini. Kita
belum memenuhi syarat-syarat terlaksananya jihad syar’i pada hari ini.
Sekarang kita tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perlawanan. Allah
l tidak membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya.
Apabila Sayyiduna ‘Isa q pada akhir zaman nanti akan berhukum
dengan syariat Muhammad n, ‘Isa adalah seorang nabi dan bersamanya ada
kaum mukminin, namun Allah l mewahyukan kepadanya: ‘Naiklah bersama
hamba-hamba-Ku ke Gunung Ath-Thur karena sesungguhnya Aku akan
mengeluarkan suatu kaum yang kalian tidak mampu melawannya.’ Siapakah
kaum tersebut? Mereka adalah Ya’juj dan Ma’juj.
Perampasan yang dilakukan oleh Ya’juj dan Ma’juj –mereka termasuk
keturunan Adam (yakni manusia)– terhadap kawasan Syam dan sekitarnya
adalah seperti perampasan yang dilakukan oleh orang-orang kafir dan
ahlul batil terhadap salah satu kawasan dari kawasan-kawasan
(negeri-negeri) Islam. Maka jihad melawan mereka adalah termasuk jihad
difa’ (defensif, membela diri). Meskipun demikian, ternyata Allah l
mewahyukan kepada ‘Isa q –beliau ketika itu berhukum dengan syariat Nabi
Muhammad n–: “Naiklah bersama hamba-hamba-Ku ke Gunung Ath-Thur. Karena
sesungguhnya Aku akan mengeluarkan suatu kaum yang kalian tidak akan
mampu melawannya.”
Allah l tidak mengatakan kepada mereka: “Berangkatlah melakukan
perlawanan terhadap mereka.” Allah l juga tidak mengatakan kepada
mereka: “Bagaimana kalian membiarkan mereka menguasai negeri dan umat?”
Tidak. Tapi Allah l mengatakan: “Naiklah bersama hamba-hamba-Ku ke
Gunung Ath-Thur. Karena sesungguhnya Aku akan mengeluarkan suatu kaum
yang kalian tidak akan mampu melawannya.” Inilah hukum Allah l.
Jadi, meskipun jihad difa’, tetap kita harus melihat kemampuan.
Kalau seandainya masalahnya adalah harus melawan dalam situasi dan
kondisi apapun, maka apa gunanya Islam mensyariatkan bolehnya perdamaian
dan gencatan senjata antara kita dengan orang-orang kafir? Padahal
Allah l telah berfirman:
“Jika mereka (orang-orang kafir) condong kepada perdamaian, maka
condonglah kepadanya (terimalah ajakan perdamaian tersebut).” (Al-Anfal:
61)
Apa makna itu semua?
Oleh karena itu, Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t memfatwakan bolehnya
berdamai dengan Yahudi, meskipun mereka telah merampas sebagian tanah
Palestina, dalam rangka menjaga darah kaum muslimin, menjaga jiwa
mereka, dengan tetap diiringi upaya mempersiapkan diri sebagai kewajiban
menyiapkan kekuatan untuk berjihad. Persiapan kekuatan untuk berjihad
dimulai pertama kali dengan persiapan maknawi imani (yakni mempersiapkan
kekuatan iman), baru kemudian persiapan materi/fisik.
Maka kami tegaskan bahwa:
Kewajiban kita terhadap tragedi besar yang menimpa kaum muslimin (di Palestina) dan negeri-negeri lainnya:
q Bahwa kita membantu mereka dengan doa untuk mereka, dengan cara yang telah saya jelaskan di atas.
q Kita menjadikan masalah darah kaum muslimin sebagai perkara
besar, kita tidak boleh mengentengkan perkara ini. Kita menyadari bahwa
ini merupakan perkara besar yang tidak diridhai oleh Allah l dan
Rasul-Nya n serta kaum muslimin.
q Kita bersikap waspada agar jangan sampai ada seorang pun yang
menyeret kita hanya dengan perasaan dan emosi kepada perkara-perkara
yang bertentangan dengan syariat Allah l.
q Kita mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah l dengan cara
mengingatkan diri kita dan saudara-saudara kita tentang masalah sabar.
Allah l telah berfirman:
“Bersabarlah sebagaimana kesabaran para ulul ‘azmi dari kalangan para rasul.” (Al-Ahqaf: 35)
Karena sesungguhnya sikap sabar merupakan sebuah siasat yang
bijaksana dan terpuji dalam situasi dan kondisi seperti sekarang. Sabar
merupakan obat. Dengan kesabaran dan ketenangan serta tidak
terburu-buru, insya Allah problem akan terselesaikan. Kita memohon
kepada Allah l pertolongan dan taufiq. Adapun menyeret umat pada
perkara-perkara yang berbahaya, maka ini bertentangan dengan syariat
Allah l dan bertentangan dengan agama Allah l.
Kelima:
Memberikan bantuan materi yang disalurkan melalui lembaga-lembaga
resmi, yaitu melalui jalur pemerintah. Selama pemerintah membuka pintu
(penyaluran) bantuan materi dan sumbangan, maka pemerintah lebih berhak
didengar dan ditaati. Setiap orang yang mampu untuk menyumbang maka
hendaknya dia menyumbang. Barangsiapa yang lapang jiwanya untuk membantu
maka hendaknya dia membantu. Namun janganlah menyalurkan harta dan
bantuan tersebut kecuali melalui jalur resmi sehingga lebih terjamin,
insya Allah, akan tepat sasaran. Jangan tertipu dengan nama besar
apapun, jika itu bukan jalur resmi yang bisa dipertanggungjawabkan.
Janganlah memberikan bantuan dan sumbanganmu kecuali pada jalur resmi.
Inilah secara ringkas kewajiban kita terhadap tragedi yang menimpa saudara-saudara di Ghaza.
Saya memohon kepada Allah l agar menolong dan mengokohkan mereka
serta memenangkan mereka atas musuh-musuh kita dan musuh-musuh mereka
(saudara-saudara kita yang di Palestina), serta menghilangkan dari
mereka (malapetaka tersebut).
Kita memohon agar Dia menunjukkan keajaiban-keajaiban Qudrah-Nya
atas para penjajah, para penindas, dan para perampas yang zalim dan
penganiaya (Yahudi) tersebut.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ
(Diambil dari http://www.assalafy.org disertai dengan perubahan redaksional)
1 Sengaja kami tidak menyebutnya dengan Israel. Karena sebutan
Israel/Israil tidak pada tempatnya dilekatkan pada bangsa Yahudi yang
menjajah Palestina sekarang. Diterangkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani t:
“Para ahli tafsir sepakat bahwa Israil adalah Ya’qub bin Ishaq bin
Ibrahim r, dan artinya adalah hamba Allah l. Karena Isra dalam bahasa
mereka artinya hamba, sedangkan Il adalah Allah l.”
Dari penjelasan ini, kita harus berhati-hati. Meskipun kita
membenci orang Yahudi dan kebencian ini memang satu hal yang
diperintahkan agama, tetapi jangan sampai salah ucap. Sehingga kita
mencela Yahudi dengan mengatakan “Israel biadab…”, “Israel la’natullah”,
dst, karena Israel atau Israil yang lebih tepat adalah Nabi Ya’qub q.
Na’udzu billah (Kita berlindung kepada Allah l) bila kita sampai
terjatuh dalam perbuatan mencela seorang nabi. Ini adalah suatu
kekafiran. Sehingga, bila kita mau mengungkapkan kekesalan terhadap
mereka, langsung saja kita sebut ‘Yahudi’. Ini lebih menyelamatkan kita,
Insya Allah. (Silakan lihat kembali rubrik Tafsir edisi 42/Vol. IV/1429
H/2008) -red
Tentang keculasan dan sepak terjang Yahudi, pembaca juga dapat melihatnya kembali di edisi 32/Vol. III/1428 H/2007. -red
2 Semula Asy-Syaikh Al-Albani mendha’ifkan hadits ini, sehingga
beliau pun meletakkannya dalam Dha’if Sunan Ibni Majah dan Dha’if
Al-Jami’. Namun kemudian beliau rujuk dari pendapat tersebut. Beliau
menshahihkan hadits tersebut dan memasukkannya dalam Ash-Shahihah no.
3420. Beliau t mengatakan: “Demikianlah. Dahulu aku mendhaifkan hadits
Ibnu Majah ini dalam beberapa takhrij dan ta’liq-ku sebelum dicetaknya
Syu’abul Iman. Ketika aku memeriksa sanadnya dan menjadi jelas
kehasanannya, aku segera membuat takhrijnya di sini untuk melepaskan
diri dari tanggungan, juga sebagai bentuk nasihat kepada umat, sembari
berdoa:
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami bila kami lupa atau salah.” (Al-Baqarah: 286)
Berdasarkan hal ini, hadits tersebut dipindahkan dari Dha’if
Al-Jami’ Ash-Shaghir dan Dha’if Sunan Ibni Majah kepada Shahih keduanya.
3 Dalam riwayat Al-Bukhari lainnya dengan lafadz disebutkan bahwa:
Maka beliau langsung duduk dengan wajah memerah seraya bersabda: … dst.
Sumber: http://asysyariah.com/sikap-ulama-terhadap-konflik-palestina-yahudi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar