Jumat, 14 Oktober 2011

Mempelajari Prinsip Dasar Ahlussunnah

Mempelajari Prinsip Dasar Ahlussunnah
Ketahuilah -semoga Alläh senantiasa memberimu taufiq untuk taat kepada-Nya- bahwa sungguh saya tidak memaksudkan dengan prinsip-prinsip dasar hanya sekedar tiga jenis tauhid saja, akan tetapi saya memaksudkannya (ketiga jenis tauhid tersebut) sebagai yang pertama. Dan saya maksudkan yang kedua selain dari tiga jenis tauhid tersebut adalah prinsip-prinsip dasar yang telah disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jamä’ah dan dengannyalah mereka menyelisihi ahlul bid’ah wal furqah (pengekor bid’ah dan perpecahan).
Seperti dalam masalah Al-walä` wal Barä` (loyalitas dan berlepas diri), amar ma’rüf nahi mungkar, sikap terhadap para shahabat, penghormatan dan pembelaan terhadap mereka, dan sikap terhadap pemerintah, sikap terhadap pelaku maksiat dan dosa besar, sikap terhadap Ahlul Bid’ah, mengeritik/mencela mereka dan bagaimana ber-interaksi dengan mereka, dan lain-lainnya dari prinsip-prinsip dasar yang telah disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jamä’ah dan mereka memasukkannya sebagai bagian dari buku-buku Aqidah mereka, sebagai upaya untuk menampakkan al-haq dan berlepasnya diri mereka dari para pengikut penyimpangan, fitnah, hawa nafsu dan perpecahan walaupun asalnya hanyalah perkara amaliyah (tindakan/ perbuatan) bukan Aqidah (keyakinan).

Apabila kamu telah mengusai masalah-masalah dan prinsip-prinsip dasar ini, maka -dengan idzin Alläh- engkau akan terbentengi dalam melawan berbagai syubhat yang menerjang dunia islam dari arah kanan maupun kirinya.
Tatkala banyak dari kalangan orang-orang yang bertaubat melalaikan hal ini, dan diawal taubat mereka tidak antusias untuk mempelajari prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jamä’ah dan manhaj mereka, maka merekapun menjadi goncang dan goyah bahkan oleh syubhat yang paling ringan sekalipun. Hanya kepada Alläh kita memohon keselamatan dan afiyat.
Dan siapa yang mencermati keadaan mereka, maka ia akan mendapatkan beberapa gambaran dan banyak contoh yang menunjukkan kegoncangan ini.
Di antara gambaran dan contoh itu adalah :
Contoh Pertama:
Kamu akan dapati seorang yang bertaubat, mula-mula sangat tamak untuk berada jauh dari ahlul bid’ah wal furqah (pengekor bid’ah dan perpecahan) dalam beberapa waktu. Tapi ketika ia mendengar syubhat dari mutalabbis (orang yang memakai pakaian/ berpura-pura/ menyamar pada) salafiah, yang mana kesimpulan syubhatnya adalah :
Bahwa menjauhi ahlul bid’ah, tidak duduk dan bergaul dengan mereka, bukanlah suatu hal yang benar.
Dan hal tersebut akan menyebabkan luputnya mashlahat yang banyak..
Dan bahwasanya tak ada seorang pun yang ma’shün (terlepas dan dosa) setelah Rasululläh shollallähu ‘alahi wa ‘alä älihi wa sallam. Dan bahwasanya para shahabat radhiyallähu ‘anhum juga jatuh dalam kesalahan.
(Tidaklah kamu mendapatinya) kecuali hatinya telah menjadi sakit dan telah meneguk syubhat tersebut lebih cepat dari tegukannya terhadap air. Dan hingga akhirnya iapun telah bergaul dengan ahlul bid’ah, dengan menelantarkan prinsip-prinsip dasar salafiah dengan nama salafiah.
Sebenarnya kebingungan ini terjadi hanyalah karena tidak adanya motivasi untuk mempelajari Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman para pendahulu umat ini, dan karena tidak ada motivasi untuk mengkaji prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jamä’ah.
Sekiranya mereka terpacu untuk mempelajarinya pastilah dia mengetahui bahwa syubhat tersebut adalah suatu kebatilan yang bertolak belakang dengan keadaan Ahlus Sunnah wal Jamä’ah terhadap ahlul ahwä` wal bida` (pengikut hawa nafsu dan bid’ah) di masa yang lalu maupun sekarang. Dia juga sungguh akan mengetahui bahwa perkataan mulabbis (penyamar dan pembuat kesamaran) tersebut bahwasanya “Tak ada seorang pun yang ma’shüm (terlepas dan dosa) kecuali Rasululläh shollallähu ‘alahi wa ‘alä älihi wa sallam dan bahwasanya setiap orang pasti bersalah” adalah merupakan perkataan yang benar akan tetapi diinginkan dengannya kebatilan.
Hal itu karena Ahlus Sunnah wal Jamä’ah dari kalangan shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, apabila salah seorang dari mereka bersalah, maka tidaklah kesalahannya itu  berasal dari hawa nafsu, atau karena mereka tidak mengkaji Al-Ätsär (Hadits dan jejak para shahabat), bukan pula karena (mereka) merubah nash-nash, dan juga bukan karena (mereka) mengikuti nash-nash) yang mutasyäbih (tidak jelas) darinya (nash-nash tersebut), sebagaima¬na keadaan ahlul bid’ah. Akan tetapi kesalahan itu muncul disebabkan karena dia belum mengetahui dalilnya atau tahu dalil tersebut namun tidak shohïh menurutnya, atau hal-hal lainnya yang memang terhitung sebagai udzur untuknya.
Pada merekalah dan pada orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik diberlakukannya sabda Rasululläh shollallähu ‘alahi wa ‘alä älihi wa sallam :
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Apabila seorang hakim hendak menetapkan hukum kemudian dia berijtihad lalu dia benar (dalam hukumnya), maka dia mendapatkan dua pahala dan apabila ia hendak menetapkan hukum kemudian ia berijtihad lalu dia salah maka dia mendapatkan satu  pahala.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Berbeda dengan ahlul bid’ah wal furqah (pengekor bid’ah dan perpecahan), maka sungguh mereka tidak ambil peduli terhadap Al-Ätsär, dan lebih mendahulukan akal-akal mereka diatas nash-nash dari Al-Kitab dan As-Sunnah, bahkan mereka meletakkan prinsip-prinsip dasar (tersendiri) yang berbeda dengan prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jamä’ah.
Maka orang-orang yang seperti ini, tidaklah diberi udzur seperti apa yang disebutkan oleh si Mulabbis. Dan tidak ada seorangpun yang memasukkan mereka dalam barisan Ahlus Sunnah wal Jamä’ah kecuali orang yang jahil atau seorang mubtadi’ (pelaku bid’ah) yang keras kepala.
Di antara hal itu, adalah :
Contoh Kedua:
Bahwasanya kamu akan dapati seorang yang bertaubat, pada awalnya sangat antusias untuk membantah ahlul bid’ah akan tetapi tanpa ada aturan/ kaidah dan tanpa ilmu, sehingga untuk beberapa waktu dia terus dalam kondisi tersebut. Kemudian tatkala ia mendengar suatu syubhat dari orang-orang yang mengaku mengikuti salafiah :
Bahwa Naqd (bantahan ,kritikan) bukanlah merupakan jalannya Ahlus Sunnah wal Jamä’ah!…
Dan bahwa sesungguhnya hal tersebut hanyalah mengeraskan hati (1)…
Dan bahwa si fulan dahulunya sering melakukan Naqd terhadap berbagai jama’ah (Baca : kelompok, aliran) akhirnya iapun berbalik pada kesesatan karenanya”
(Tidaklah ia mendengar syubhat-syubhat ini) melainkan ia telah berbalik ke belakang, kemudian ia menginginkari prinsip dasar yang agung ini, yang agama tegak diatasnya, Bahkan boleh jadi setelah itu engkau mendapatinya, mengajak manusia untuk meninggalkan prinsip dasar ini, dengan alasan bahwa hal tersebut akan mengeraskan hati.
Padahal yang benar dalam perkara ini (membantah ahlul bid’ah) adalah bahwasanya hal ini merupakan satu prinsip dasar yang sangat agung, agama yang hanif ini tegak diatasnya, dan satu pintu yang sangat kokoh dalam menjaga manhaj Ahlus Sunnah wal Jamä’ah, dan merupakan suatu ‘ibadah yang sangat agung, dan suatu qurbah (pendekatan diri) yang sangat agung, bisa menambah keimanan seorang muslim bila ia melakukannya dengan memenuhi syarat-syaratnya: Berupa keikhlasan dan yang lainnya. Keadaannya (nilainya) adalah seperti keadaan ‘ibadah lainnya yang bisa menambah keimanan.
Maka kesalahan-kesalahan (yang terjadi) bukanlah pada prinsip dasarnya, melainkan pada orang yang menjalankan prinsip dasar tersebut tanpa ketentuan. Sehingga bila syubhat telah diterima oleh hatinya, diapun mengingkari prinsip dasar tersebut sebagai ganti pengingkarannya (yang seharusnya dilakukannya) terhadap dirinya yang tidak becus/ benar/beres dalam menerapkan prinsip dasar tersebut.
Karena itu, kami tak pernah melihat pada para Imam¬ pembawa petunjuk, dari kalangan shahahat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, selain dari sifat zuhud, taqwa dan takut kepada Alläh, serta kelembutan hati, disamping banyaknya kritikan dan komentar mereka terhadap rawi-rawi maupun kelompok-kelompok (yang menyimpang dari kebenaran,-pent.)…
Abdullah bin Mubarak…  Ahmad bin Hambal…
Yahya bin Main… Ali Ibnu Al-¬Madiny…
Abu Hatim Ar-Rozy… A1-Bukhariy…
Biografi mereka semua diterangi kezuhudan, wara’, rasa takut dan taqwa. Maka percampuran dan keserempangan tersebut adalah disebabkan oleh karena tidak adanya rasa keikhlasan dan kejujuran dalam bertaubat kepada Alläh, dan tidak tertariknya/ mengarahnya orang yang bertaubat itu untuk mempelajari prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jamä’ah.
Oleh sebab itulah, -wahai saudaraku yang bertaubat- seharusnyalah engkau berhati-hati terhadap penggelinciran yang berbahaya ini, dan hendaknya engkau tahu bahwa tidak ada keselamatan bagimu dari berbagai syubhat-syubhat yang telah tersebar dan penggelinciran-penggelinciran yang membinasakan ini kecuali kalau Alläh memberikan taufiq kepadamu dan engkau telah mulai mempelajari prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jamä’ah. Maka jadilah engkau seorang yang tamak dalam perkara ini dengan kesungguhan, giat, dan tekad yang kuat,
“Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu.” (Q.S. Al-Baqarah : 63)
Dan dengan kejujuran dan keikhlasan,
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Alläh benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Ankabüt : 69)
Dan yakinilah Firman (Alläh) Ta’ala :
“Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih mengokohkan (iman mereka), dan kalau demikian, pasti Kami berikan dari sisi Kami pahala yang besar kepada mereka, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (Q.S. An-Nisä` : 66-68)
Dan awaslah engkau dari kelemahan, kelesuan dan menyerah terhadap apa yang menimpamu di jalan Alläh, dan jangan sekali-kali engkau lalai dari firman Alläh  Ta’ala :
“Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Alläh, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Alläh menyukai orang-orang yang sabar.” (Q.S. Äli ‘Imrän : 146)
____________
(1) Ini termasuk keanehan-keanehan mereka, karena sebenarnya yang merupakan kekerasan hati adalah dengan menyelisihi perintah-perintah Alläh dan rasul-Nya, bukan dengan menunaikannya. Dan bagaimana mungkin hati orang-orang yang mengingkari kemungkaran, apalagi mengikari bid’ah dan kesesatan menjadi keras, sementara Rasulullah shollallähu ‘alahi wa ‘alä älihi wa sallam bersabda :
تُعْرَضٌ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوْبِ كَالْحَصِيْرِ عُوْدًا عُوْدًا فَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيْهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَيُّ قَلْبٍ أُنْكِرَهَا نُكِتَ فِيْهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيْرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلَا تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مِرْبَادًا كَالْكُوْزِ مُجَخِّيًا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوْفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ
“Dihadapkan fitnah-fitnah kepada hati-hati manusia bagaikan anyaman tikar selembar demi selembar, maka hati mana saja menyerapnya akan dilemparkan padanya titik hitam dan hati yang mana saja yang mengingkarinya dilemparkan padanya titik putih, sehingga akan menjadi dua hati ; (hati) yang diatas suatu yang putih bagaikan batu licin yang sangat putih, tak akan dibahayakan oleh fitnah selama masih adanya langit dan bumi, dan (hati)  yang lainnya  adalah hitam berwarna seperti debu,  bagikan cangkir yang cekung, yang tidak mengenal hal yang ma’ruf dan tidak mengingkari suatu yang mungkar kecuali apa yang telah diserap oleh hawa nafsunya”. (HR. Muslim No. 367)
[Dikutip dari buku: Wasiat Berharga Bagi yang Kembali ke Manhaj Salaf: wasiat ketiga, cet. Pustaka As-Sunnah]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar